KumpuLan berbagai Asuhan Keperawatan

WeLcome to my bLog.
Semoga blog yan berisi asuhan-asuhan keperawatan dengan berbagai masalah ini, dapat membantu dan bermanfaat bagi teman-teman sekalian...

Comment yang membangun saya nantikan dari para pembaca, demi kebaikan posting-posting asuhan keperawatan ke depan...

Terima kasih, GBUs...

KumpuLan berbagai Asuhan Keperawatan

WeLcome to my bLog.
Semoga blog yan berisi asuhan-asuhan keperawatan dengan berbagai masalah ini, dapat membantu dan bermanfaat bagi teman-teman sekalian...

Comment yang membangun saya nantikan dari para pembaca, demi kebaikan posting-posting asuhan keperawatan ke depan...

Terima kasih, GBUs...

Sabtu, 05 Maret 2011

Kejang Demam

A. KONSEP DASAR MEDIK
1. Anatomi Fisiologi
Sistem persyarafan terdiri dari sel-sel syaraf (neuron) yang tersusun membentuk sistem saraf pusat dan sistem saraf perifer. Sistem saraf pusat (SSP) terdiri atas otak dan medula spinalis sedangkan sistem saraf tepi (perifer) merupakan susunan saraf diluar SSP yang membawa pesan dari sistem saraf pusat.
Stimulasi atau rangsangan yang diterima oleh tubuh baik yang bersumber dari lingkungan internal maupun eksternal menyebabkan berbagai perubahan dan menuntut tubuh untuk mampu mengadaptasinya sehingga tubuh tetap simbang. Upaya tubuh untuk mengadaptasi berlangsung melalui kegiatan sistem saraf disebut sebagai kegiatan refleks. Bila tubuh tidak mampu mengadaptasinya maka akan terjadi kondisi yang tidak seim`bang atau sakit.
Stimulus diterima oleh reseptor (penerima rangsang) sistem saraf yang selanjutnya akan dihantarkan oleh sistem saraf tepi ke sistem saraf pusat. Di sistem saraf pusat impuls diolah untuk kemudian meneruskan jawaban (respon) kembali melalui sistem saraf tepi menuju efektor yang berfungsi sebagai pencetus jawaban akhir. Jawaban yang terjadi dapat berupa jawaban yang dipengaruhi oleh kemauan (volunter) dan jawaban yang tidak dipengaruhi oleh kemauan (anvolunter)
Jawaban yang volunter melibatkan sistem saraf somatis sedangkan yang involunter melibatkaan sistem saraf otonom. Yang berfungsi sebagai efektor dari sistem saraf somatik adalah otot rangka sedangkan untuk sistem saraf otonom, efektornya adalah otot polos, otot jantung dan kelenjer sebasea.
Secara garis besar sistem saraf mempunyai empat fungsi tentang :
1. Menerima informasi dari dalam maupun dari luar tubuh melalui saraf sensory (afferent sensory pathway)
2. Mengkomunikasikan informasi antara sistem saraf perifer dan sistem saraf pusat
3. Mengelola informasi yang diterima baik ditingkat medulla spinalis maupun di otak untuk selanjutnya menentukan jawaban atau respon
4. Menghantarkan jawaban secara cepat melalui saraf motorik ke organ-organ tubuh sebagai kontrol atau modifikasi dari tindakan

Sel Saraf Neuron
Merupakan sel tubuh yang berfungsi mencetuskan dan menghantarkan impuls listrik. Neuron merupakan unit dasar dan fungsional sistem saraf yang mempunyai sifat exitability artinya siap memberi respon apabila terstimulasi. Satu sel saraf mempunyai badan sel (soma) yang mempunyai satu atau lebih tonjolan (dendrit). Tonjolan-tonjolan ini keluar dari sitoplasma sel saraf. Satu atau dua ekspansi yang sangat panjang disebut akson. Serat saraf adalah akson dari neuron.
Dendrit dan badan sel saraf berfungsi sebagai pencetus impuls, sedangkan akson berfungsi sebagai pembawa impuls. Sel-sel saraf membentuk mata rantai yang panjang dari perifer ke pusat dan sebaliknya, dengan demikian impuls dihantarkan secara berantai dari satu neuron ke neuron lainnya. Tempat diman terjadi antara satu neuron dan neuron lainnya disebut sinaps. Penghantaran impuls dari satu neuron ke neuron lainnya belangsung dengan perantaraan zat kimia
Sistem Saraf Pusat
Sistem saraf pusat terdiri atas otak dan medula spinalis. Dibungkus oleh selaput meningaen yang berfungsi umtuk melindungi CNS. Meningen terdiri dari 3 lapisan yaitu duramater, arachnoid, dan piamater. Secara fisiologis SSP berfungsi intuk interpretasi, integrasi, koordinasi, dan insiasi berbagai impuls saraf
Otak, terdiri dari otak besar (cerbelum), otak kecil (cerebrum), dan batang otak (brainstem). Otak merupakan jaringan yang paling banyak menggunakan energi yang didukung oleh metabolisme oksidasi glukosa. Kebutuhan oksigen dan glukosa relatif konstan, hal ini disebabkan oleh karena metabolisme otak yang merupakan proses yang-terus menerus tanpa periode istirahat yang berarti. Bila kadar oksigen dan glukosa kurang dalam jaringan otak maka metabolisme akan terganggu dan jaringan saraf akan mengalami kerusakan.
Medula spinalis merupakan perpenjangan dari medula oblongata yang mempunyai fungsi sebagai berikut :
1. Pusat gerakan otot tubuh terbesar yaitu kornu motorik atau kornu ventralis
2. Mengurus kegiatan refleks spinalis dan refleks lutut
3. Menghantarkan rangsangan koordinasi otot dan sendi menuju cerebellum
4. Mengadakan komunikasi antara otak dan semua bagian tubuh.

2. Pengertian
Kejang demam adalah bangkitan kejang yang terjadi pada kenaikan suhu tubuh (suhu rectal diatas 38oc) yang disebabkan oleh suatu proses ekstracranial (mansjoer, 2000)
Kejang demam sering juga disebut kejang demam tonik-klonik, sangat sering dijumpai pada anak-anak usia di bawah 5 tahun. Kejang ini disebabkan oleh adanya suatu awitan hypertermia yang timbul mendadak pada infeksi bakteri atau virus. (Sylvia A. Price, Latraine M. Wikson, 1995).
Kejang demam adalah terbebasnya sekelompok neuron secara tiba-tiba yang mengakibatkan suatu kerusakan kesadaran, gerak, sensasi atau memori yang bersifat sementara (Hudak and Gallo,1996).
Dari pengertian diatas dapat disimpulkan kejang demam adalah bangkitan kejang yang terjadi karena peningkatan suhu tubuh yaitu 380 C yang sering di jumpai pada usia anak dibawah lima tahun.


Klasifikasi kejang demam;
1. Menurut Ngastiyah ( 1997: 231), klasikfikasi kejang demam adalah
Kejang demam sederhan yaitu kejang berlangsung kurang dari 15 menit dan umum. Adapun pedoman untuk mendiagnosa kejang demam sederhana dapat diketahui melalui criteria Livingstone, yaitu :
a. umur anak ketika kejang antara 6 bulan sampai 4 tahun
b. kejang berlangsung hanya sebentar, tidak lebih dari 15 menit.
c. Kejang bersifat umum
d. Kejang timbul dalam 16 jam pertama setelah timbul demam.
e. Pemeriksaan saraf sebelum dan sesudah kjang normal
f. Pemeriksaan EEG yang dibuat sedikitnya 1 minggu sesudah suhu normal tidak menunjukan kelainan.
g. Frekuensi kejang bangkitan dalam 1 tahun tidak melebihi 4 kali
2. Kejang kompleks (epilepsi yang dicetuskan oleh demam)
Kejang kompleks adalah tidak memenuhi salah satu lebih dari ketujuh criteria Livingstone. Menurut Mansyur ( 2000: 434) biasanya dari kejang kompleks diandai dengan:
a. kejang yang berlangsung lebih dari 15 menit
b. usia penderita lebih dari 6 tahun saat serangan kejang demam pertama
c. frekuensi serangan kejang melebihi 4 kali dalam satu tahun
d. kejang berlangsung lama atau bersifat fokal atau multiple ( lebih dari 1 kali dalam 24jam)
Di sini anak sebelumnya dapat mempunyai kelainan neurology atau riwayat kejang dalam atau tanpa kejang dalam riwayat keluarga.
Kejang yang merupakan pergerakan abnormal atau perubahan tonus badan dan tungkai dapat diklasifikasikan menjadi 3 bagian yaitu : kejang, klonik, kejang tonik dan kejang mioklonik.

a. Kejang Tonik
Kejang ini biasanya terdapat pada bayi baru lahir dengan berat badan rendah dengan masa kehamilan kurang dari 34 minggu dan bayi dengan komplikasi prenatal berat. Bentuk klinis kejang ini yaitu berupa pergerakan tonik satu ekstrimitas atau pergerakan tonik umum dengan ekstensi lengan dan tungkai yang menyerupai deserebrasi atau ekstensi tungkai dan fleksi lengan bawah dengan bentuk dekortikasi. Bentuk kejang tonik yang menyerupai deserebrasi harus di bedakan dengan sikap epistotonus yang disebabkan oleh rangsang meningkat karena infeksi selaput otak atau kernikterus
b. Kejang Klonik
Kejang Klonik dapat berbentuk fokal, unilateral, bilateral dengan pemulaan fokal dan multifokal yang berpindah-pindah. Bentuk klinis kejang klonik fokal berlangsung 1 – 3 detik, terlokalisasi dengan baik, tidak disertai gangguan kesadaran dan biasanya tidak diikuti oleh fase tonik. Bentuk kejang ini dapat disebabkan oleh kontusio cerebri akibat trauma fokal pada bayi besar dan cukup bulan atau oleh ensepalopati metabolik.
c. Kejang Mioklonik
Gambaran klinis yang terlihat adalah gerakan ekstensi dan fleksi lengan atau keempat anggota gerak yang berulang dan terjadinya cepat. Gerakan tersebut menyerupai reflek moro. Kejang ini merupakan pertanda kerusakan susunan saraf pusat yang luas dan hebat. Gambaran EEG pada kejang mioklonik pada bayi tidak spesifik.
3. Etiologi
Penyebab kejang demam yang sering ditemukan adalah :
Faktor predisposisi :
1. Keturunan, orang tua yang memiliki riwayat kejang sebelumnya dapat diturunkan pada anakmya.
2. Umur, (lebih sering pada umur < 5 tahun), karena sel otak pada anak belum matang sehingga mudah mengalami perubahan konsentrasi ketika mendapat rangsangan tiba-tiba.
Faktor presipitasi
1. Adanaya proses infeksi ekstrakranium oleh bakteri atau virus misalnya infeksi saluran pernapasan atas, otitis media akut, tonsilitis, gastroenteritis, infeksi traktus urinarius dan faringitis.
2. Ketidak seimbangan ion yang mengubah keseimbangan elektrolit sehingga mengganggu homeostatis kimiawi neuron sehingga terjadi kelainan depolarisasi neuron misalnya hiponatremia, hipernatremia, hipoglikemia, hipokalsemia, dan hipomagnesemia.
3. Kejang demam yang disebabkan oleh kejadian perinatal (trauma kepala, infeksi premature, hipoksia) yang dapat menyebabkan kerusakan otak.
Menurut staf pengajar ilmu kesehatan anak FKUI (1985: 50), faktor presipitasi kejang demam: cenderung timbul 24 jam pertama pada waktu sakit demam atau dimana demam mendadak tinggi karena infeksi pernafasan bagian atas. Demam lebih sering disebabkan oleh virus daripada bakterial.
4. Patofisiologi
Untuk mempertahankan kelangsungan hidup sel / organ otak diperlukan energi yang didapat dari metabolisme. Bahan baku untuk metabolisme otak yang terpenting adalah glucose,sifat proses itu adalah oxidasi dengan perantara pungsi paru-paru dan diteruskan ke otak melalui system kardiovaskuler.
Berdasarkan hal diatas bahwa energi otak adalah glukosa yang melalui proses oxidasi, dan dipecah menjadi karbon dioksida dan air. Sel dikelilingi oleh membran sel. Yang terdiri dari permukaan dalam yaitu lipoid dan permukaan luar yaitu ionik. Dalam keadaan normal membran sel neuron dengan mudah dapat dilalui oleh ion Kalium (K+). Akibatnya konsentrasi K+ dalam sel neuron tinggi dan konsentrasi NA+ rendah. Sedangkan di luar sel neuron terdapat keadaan sebaliknya,karena itu terdapat perbedaan jenis dan konsentrasi ion didalam dan diluar sel. Maka terdapat perbedaan membran yang disebut potensial membran dari neuron. Untuk menjaga keseimbangan potensial membran ini diperlukan energi dan bantuan enzim NA, K, ATP yang terdapat pada permukaan sel.
Keseimbangan potensial membran ini dapat diubah dengan perubahan konsentrasi ion diruang extra selular, rangsangan yang datangnya mendadak misalnya mekanis, kimiawi atau aliran listrik dari sekitarnya. Perubahan dari patofisiologisnya membran sendiri karena penyakit/keturunan.
Pada seorang anak sirkulasi otak mencapai 65 % dari seluruh tubuh dibanding dengan orang dewasa 15 %. Dan karena itu pada anak tubuh dapat mengubah keseimbangan dari membran sel neuron dalam singkat terjadi difusi di ion K+ maupun ion NA+ melalui membran tersebut dengan akibat terjadinya lepasnya muatan listrik.
Lepasnya muatan listrik ini sedemikian besarnya sehingga dapat meluas keseluruh sel maupun membran sel sekitarnya dengan bantuan bahan yang disebut neurotransmitter sehingga mengakibatkan terjadinya kejang. Kejang yang yang berlangsung singkat pada umumnya tidak berbahaya dan tidak meninggalkan gejala sisa tetapi kejang yang berlangsung lama lebih 15 menit biasanya disertai apnea, NA meningkat, kebutuhan O2 dan energi untuk kontraksi otot skeletal yang akhirnya terjadi hipoxia dan menimbulkan terjadinya asidosis.
5. Manifestasi klinik
Terjadinya bangkitan kejang pada bayi dan anak kebanyakan bersamaan dengan kenaikan suhu badan yang tinggi dan cepat, yang disebabkan oleh infeksi di luar susunan saraf pusat : misalnya tonsilitis, otitis media akut, ISPA, UTI, serangan kejang biasanya terjadi dalam 24 jam pertama sewaktu demam, berlangsung singkat dengan sifat bangkitan dapat berbentuk tonik-klonik.
6. Pemeriksaan Diagnostik
Adapun pemeriksaan yang dapat dilakukan pada pasien kejang demam antara lain :
a) Pemeriksaan Laboratorium
Elektrolit
Tidak seimbang dapat berpengaruh atau menjadi predisposisi pada aktivitas kejang
Glukosa
Hipoglikemia ( normal 80 - 120)
Ureum / kreatinin
Meningkat (ureum normal 10 – 50 mg/dL dan kreatinin normal =< 1,4 mg/dL)
Sel Darah Merah (Hb)
Menurun ( normal 14-18 g/dl, 12-16 g/dl )
Lumbal punksi
Tes ini untuk memperoleh cairan cerebrospinalis dan untuk mengetahui keadaan lintas likuor. Tes ini dapat mendeteksi penyebab kejang demam atau kejang karena infeksi pada otak.
- Pada kejang demam tidak terdapat gambaran patologis dan pemeriksaan lumbal pungsi
- Pada kejang oleh infeksi pada otak ditemukan :
1) Warna cairan cerebrospinal : berwarna kuning, menunjukan pigmen kuning santokrom
2) Jumlah cairan dalam cerebrospinal menigkat lebih dari normal (normal bayi 40-60ml, anak muda 60-100ml, anak lebih tua 80-120ml dan dewasa 130-150ml)
3) Perubahan biokimia : kadar Kalium menigkat ( normal dewasa 3.5-5.0 mEq/L, bayi 3.6-5.8mEq/L)
b) EEG (electroencephalography)
EEG merupakan cara untuk merekam aktivitas listrik otak melalui tengkorang yang utuh untuk menentukan adanya kelainan pada SSP, EEG dilakukan sedikitnya 1 minggu setelah suhu normal. Tidak menunjukkan kelainan pada kejang demam sederhana, gelombang EEG yang lambat di daerah belakang dan unilateral menunjukkan kejang demam kompleks

c) CT Scan
Tidak dianjurkan pada kejang demam yang beru terjadi pada pertama kalinya
d) Pemeriksaan Radiologis
1) Foto tengkorak diperhatikan simetris tulang tengkorak, destruksi tulang peningkatan tekanan intrakranial
2) Pneumonsefalografi dan ventrikulografi dilakukan atas indikasi tertentu yaitu untuk melihat gambaran sistem ventrikal, rongga subaraknoid serta gambaran otak sehingga dapat diketahui adanya atrofi otak, tumor serebri, hidrosefalus araknoiditis
3) Arteriografi untuk melihat keadaan pembuluh darah di otak, apakah ada penyumbatan atau peregangan.

7. Penatalaksanaan Medik
Pada penatalaksanaan kejang demam ada 3 hal yang perlu dikerjakan yaitu :
1. Pengobatan Fase Akut
Seringkali kejang berhenti sendiri. Pada waktu kejang pasien dimiringkan untuk mencegah aspirasi ludah atau muntahan. Jalan napas harus bebas agar oksigennisasi terjamin. Perhatikan keadaan vital seperti kesadaran, tekanan darah, suhu, pernapasan dan fungsi jantung. Suhu tubuh tinggi diturunkan dengan kompres air dan pemberian antipiretik.
Obat yang paling cepat menghentikan kejang adalah diazepam yang diberikan intravena atau intrarektal. Dosis diazepam intravena 0,3-0,5 mg/kgBB/kali dengan kecepatan 1-2 mg/menit dengan dosis maksimal 20 mg. bila kejang berhenti sebelum diazepam habis, hentikan penyuntikan, tunggu sebentar, dan bila tidak timbul kejang lagi jarum dicabut. Bila diazepam intravena tidak tersedia atau pemberiannya sulit gunakan diazepam intrarektal 5 mg (BB≤10 kg) atau 10 mg(BB≥10kg) bila kejang tidak berhenti dapat diulang selang 15 menit kemudian. Bila tidak berhenti juga, berikan fenitoin dengan dosis awal 10-20 mg/kgBB secara intravena perlahan-lahan 1 mg/kgBb/menit. Setelah pemberian fenitoin, harus dilakukan pembilasan dengan Nacl fisiologis karena fenitoin bersifat basa dan menyebabkan iritasi vena.
Bila kejang berhenti dengan diazepam, lanjutkan dengan fenobarbital diberikan langsung setelah kejang berhenti. Dosis awal untuk neonatus 30 mg, bayi 1 bulan -1 tahun 50 mg dan umur 1 tahun ke atas 75 mg secara intramuscular. Empat jama kemudian diberikan fenobarbital dosis rumat. Untuk 2 hari pertama dengan dosis 8-10 mg/kgBB/hari dibagi dalam 2 dosis, untuk hari-hari berikutnya dengan dosis 4-5 mg/kgBB/hari dibagi 2 dosis. Selama keadaan belum membaik, obat diberikan secara suntikan dan setelah membaik per oral. Perhatikan bahwa dosis total tidak melebihi 200mg/hari. Efek sampingnya adalah hipotensi,penurunan kesadaran dan depresi pernapasan. Bila kejang berhenti dengan fenitoin,lanjutkna fenitoin dengan dosis 4-8mg/KgBB/hari, 12-24 jam setelah dosis awal.
2. Mencari dan mengobati penyebab
Penyebab dari kejang demam baik kejang demam sederhana maupun kejang epilepsi yang diprovokasi oleh demam biasanya ISPA dan otitis media akut. Pemberian antibiotika yang tepat dan adekuat utnuk mengobati infeksi tersebut. Biasanya dilakukan pemeriksaan fungsi lumbal untuk mengetahui faktor resiko infeksi di dalam otak, misalnya: meningitis. Apabila menghadapi penderita dengan kejang demam lama, pemeriksaan yang intensif perlu dilakukan, seperti: pemeriksaan darah lengkap.
3. Pengobatan rumat
Pengobatan ini dibagi atas 2 bagian:
1. Pengobatan profilaksis intermiten: untuk mencegah terulangnya kejadian demam dikemudian hari, orang tua atau pengasuh harus cepat mengetahui bila anak menderita demam. Disamping pemberian antipiretik, obat yang tepat untuk mencegah kejang waktu demam adalah diazepam intrarektal. Diberiakan tiap 12 jam pada penderita demam dengan suhu 38,5oC atau lebih. Dosis Diazepam diberikan 5 mg untuk anak kurang dari 3 tahun dan 7,5 mg untuk anak lebih dari 3 tahun atau dapat diberikan Diazepam oral 0,5 mg/kgBB pada waktu penderita demam (berdasarkan resep dokter).
2. Pengobatan profilaksis jangka panjang yaitu dengan pemberian antikonvulsan tiap hari. Hal ini diberikan pada penderita yang menunjukkan hal berikut;
a. Sebelum kejang demam penderita sudah ada kelainan neurologis atau perkembangannya
b. Kejang demam lebih dari 15 menit, fokal atau diikuti kelainan neurologis sementara atau menetap
c. Riwayat epilepsi pada orang tua atau saudara kandung
d. Kejang demam pada bayi atau kejang multipel pada satu episode demam.
Profilaksis jangka panjang setiap hari dengan fenobarbital 4-5mg.kgBB/hari dibagi dalam 2 dosis. Obat lain yang dapat digunakan adalah asam valproat dengan dosis 15-40 mg/kgBB/hari. Antikonvulsan profilaksis selama 1-2 tahun setelah kejang terakhir dan dihentikan bertahap selama 1-2 bulan

8. Komplikasi
• Epilepsi
Terjadi akibat adanya kerusakan pada daerah lobus temporalis yang berlangsung lama dan dapat menjadi matang
• Retardasi mental
Terjadi pada pasien kejang demam yang sebelumnya telah terdapat gangguan perkembangan atau kelainan neurologis
• Hemiparese
Biasanya terjadi padaa pasien yang mengalemi kejang lama (berlangsung lebih dari 30 menit)
• Gagal pernapasan
Akibat dari ektivitas kejang yang menyebabkan otot-otot pernapasan menjadi spasme
• Kematian
1. Pengkajian
a. Pola persepsi kesehatan dan pemeliharaan kesehatan
adanya riwayat keluarga dengan kejang demam, kejang terjadi pada usia 2-5 tahun, adanya riwayat infeksi, lemah, badan/kulit teraba panas, kejang kurang dari 5 menit, kehilangan kesadaran, sianosis
b. Pola nutrisi dan metabolik
Mual dan muntah berhubungan dengan aktivitas kejang, nafsu makan menurun, berat badan menurun, membrane mukosa kering, konjungtiva tampak anemis, dan suhu tubuh meningkat
c. Pola eliminasi
Frekuensi meningkat konsistensi cair, diare
d. Pola aktivitas dan latihan
Kelemahan umum, kehilangan kesadaran singkat, gerakan infolunter/kontraksi otot, kaku, penurunan tonus otot
e. Pola persepsi dan konsep diri
Perasaan cemas, ketakutan dengan kondisi anak dikemudian hari
f. Pola sistem nilai dan kepercayaan
Nilai keyakinan mungkian meningkat seiring kebutuhan untuk mendapat sumber kesembuhan dari Tuhan

2. Diagnosa Keperawatan
Diagnosa yang mungkin muncul:
a. Hipertermi b/d adanya proses infeksi
b. Resiko tinggi cedera fisik b/d aktifitas motorik yang meningkat (kejang)
c. Resiko tinggi pola nafas tidak efektif b/d penurunan neuromuscular
d. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b/d intake yang kurang
e. Resiko tinggi perubahan volume cairan kurang dari kebutuhanan tubuh b/d pengeluaran yang berlebihan
f. Resiko tinggi gangguan perfusi jaringan ke otak b/d penurunan suplai O2

3. Intervensi Keperawatan
a. Hipertermi b/d adanya proses infeksi
HYD: suhu normal 36oC – 37oC pada klien dalam jangka waktu 2 hari
Intervensi:
1. Kaji penyebab hipertermi
R/ hipertermi merupakan salah satu gejala/kompensasi tubuh terhadap adanya infeksi baik secra lokal maupun secara sistematik
2. Observasi TTV
R/ pada klien hipertermi terjadi kenaikan TTV terutama suhu, nadi, pernapasan. Hal ni disebabkan karana metabolisma tubuh meningkat.
3. Beri kompres hangat pada bagian dahi atau ketiak
R/ daerah dahi dan aksila merupakan jaringan tipis dan terdapat pembulu darah sehingga proses vasodilatasi pembuluh darah lebih cepat sehinggga pergerakan-pergerakan molekul cepat sehinga evaporasi meningkat dengan cepat
4. Beri minum sedikit-sedikit tapi sering
R/ untuk mengganti cairan yang hilang dan untuk mempertahankan cairan di dalam tubuh
5. Pakaikan pakaian yang tipis yang dapat menyerap keringat
R/ pakaian yang tipis dapat membantu mempercepat proses evaporasi
6. Kolaborasi dengan dokter dalam pemberian obat antipiretik
b. Resiko tinggi cedera fisik b/d aktifitas motorik yang meningkat (kejang)
HYD: lidah tidak tergigit dan jatuh ke belakang
Intevensi
1. Jelaskan pada keluarga akibat-akibat yang terjadi sat kejang berulang (lidah tergigit)
R/ panjelasan yang baik dan tepat sangat penting untuk meningkatkan pengetahuan dalam mengatasi kejang (lidah tergigit)
2. Sediakan spatel lidah yang telah dibungkur gaas verban
R/ sptel llidah digunakan untuk menahan lidah jjika tergigit
3. Beri posisi miring kiri/kanan
R/ mencegah aspirasi pada lambung
4. Kolaborasi dengan dokter dalam pemberian obat anti konvulsan
R/ obat anti konvulsan sebagai pengatur gerakan motorik dalam hal ini anti konvulsan menghentikan gerakan motorik yang berlebihan
c. Resiko tinggi pola nafas tidak efektif b/d penurunan neuromuscular
HYD : mempertahankan pola napas efektif
Intervensi:
1. Anjurkan pasien mengosongkan mulut dari benda atau zat tertentu
R/ menurunkan resiko aspirasi atau masuknya suatu benda asing ke faring.
2. Letakkan pasien pada posisi miring dan permukaan datar
R/ mencegah lidah jatuh dan menyumbat jalan napas
3. Masukkan spatel lidah/jalan napas buatan
R/ mencegah tejatuhnya lidah dan memfasilitasi saat melakukan pengisapan lendir
4. Kolabori dalm pemberian oksigen sesuai indikasi.
R/ menurunkan hipoksia serebral sebagai akibat dari sirkulasi yang menurun
d. Resiko tinggi gangguan perfusi jaringan ke otak b/d penurunan suplai O2
HYD: gangguan perfusi jaringan otak tidak terjadi
Intervensi:
1. Tentukan faktor-faktor yang berhubungan dengan keadaan terentu atau yang menyebabkan penurunan perfusi jaringan otak
R/ penurunan tanda atau gejala neurologis atau kegagalan dalam pemulihannya setelah serangan awal menunjukkan bahwapasien itu perlu dipindahkan ke keperawatan intensif
2. Observasi TTV
R/ periksa TTV sangat penting untuk mnegetahui tindakan selanjutnya
3. Pertahankan leher atau kepala pada posisi tengah kemudian sokong dengan handuk kecil atau bantal kecil
R/ kepala yang miring pada satu sisi akan menekan vena jungularis dan menghambat aliran darah vena yang selanjutnya meningkatkan TIK
4. Berikan waktu istirahat diantara aktifitas keperawatan yang dilakukan
R/ aktifitas yang dilakukan terus menerus dapat meningkatkan TIK dengan menimbulkan efek stimulasi kumulatif
5. Catat adanya refleks-refleks menelan, batuk, babinski dan reaksi pupil
R/ penurunan refleks menandakan adanya kerusakan pada tigkat otak tengah atau batang otak yang sangat berpengaruh langsungj terhadap keamanan pasien.
6. Anjurkan orang terdekat (keluarga) untuk berbicara dengan pasien.
R/ ungkapan keluarga yang menyenangkan pasien tampak mempunyai efek relaksasi pada beberapa pasien.
e. Kecemasan orang tua berhubungan dengan dampak hospitalisasi
Hasil yang diharapkan : orang tua tidak merasa cemas
Intervensi :
1. Kaji persepsi orang tua terhadap penyakit klien
R/ persepsi yang positif dalm membina kerja sama yang baik dalam proses keperawatan.
2. Beri sopport pada keluargaa bahwa klien akan sembuh kalau rutin dalam perawatan dan pengobatan
R/ menaati anjuran atau larangan serta ketekunan mengkonsummsi obat dapat mempercepat proses penyembuhan.
3. Berikan kesempatan mengungkapakan perasaannya (apa yang dirasakan orang tua saat itu)
R/ mengurangi beban psikologis dengan menyalurkan aspek emosional secara efektif dan cepat.
4. Beri informasi tentang cara mengatasi kejang seperti ana dibaringkan di tempat yang datar, kepalanya dimiringkan dan pasang gagang sendok yang telah dibungkus kain bersih.
R/ dapat meningkatkan pengetahuan orang tua sehingga dapat mengurangi kecemasan.
5. Anjurkan kepada keluarga untuk selalu berdoa dan mendekatkan diri kepada Tuhan.
R/ dengan mendekatkan diri pada Tuhan dapat mengurangi ansietas orang tua

Asuhan Keperawatan Retardasi Mental

A.PENGERTIAN
a. Kemampuan mental yang tidak mencukupi (WHO)
b. Suatu keadaan yang ditandai dengan fs. Intelektual berada dibawah normal, timbul pada masa perkembangan/dibawah usia 18 tahun, berakibat lemahnya proses belajar dan adaptasi sosial (D.S.M/Budiman M, 1991)
c. American Association on Mental Retardation (AAMR) 1992 :
Kelemahan/ketidakmampuan kognitif muncul pada masa kanak-kanak (sebelum 18 tahun) ditandai dengan fs. kecerdasan dibawah normal ( IQ 70-75 atau kurang), dan disertai keterbatasan lain pada sedikitnya dua area berikut : berbicara dan berbahasa; ketrampilan merawat diri, ADL; ketrampilan sosial; penggunaan sarana masyarakat; kesehatan dan keamanan; akademik fungsional; bekerja dan rileks.
Retardasi mental ialah keadaan dengan intelegensia yang kurang (subnormal) sejak masa perkembangan (sejak lahir atau sejak masa anak). Biasanya terdapat perkembangan mental yang kurang secara keseluruhan, tetapi gejala utama ialah intelegensi yang terbelakang. Retardasi mental disebut juga oligofrenia (oligo = kurang atau sedikit dan fren = jiwa) atau tuna mental.
Retardasi mental bukan suatu penyakit walaupun retardasi mental merupakan hasil dari proses patologik di dalam otak yang memberikan gambaran keterbatasan terhadap intelektual dan fungsi adaptif. Retardasi mental dapat terjadi dengan atau tanpa gangguan jiwa atau gangguan fisik lainnya.
B.ETIOLOGI
Penyebab kelainan mental ini adalah faktor keturunan (genetik) atau tak jelas sebabnya (simpleks).keduanya disebut retardasi mental primer. Sedangkan faktor sekunder disebabkan oleh faktor luar yang berpengaruh terhadap otak bayi dalam kandungan atau anak-anak.
Retardasi mental menurut penyebabnya, yaitu :

a. Akibat infeksi dan intoksikasi.
Dalam Kelompok ini termasuk keadaan retardasi mental karena kerusakan jaringan otak akibat infeksi intrakranial, karena serum, obat atau zat toksik lainnya.
b. Akibat rudapaksa dan sebab fisik lain.
Rudapaksa sebelum lahir serta juga trauma lain, seperti sinar x, bahan kontrasepsi dan usaha melakukan abortus dapat mengakibatkan kelainan dengan retardasi mental. Rudapaksa sesudah lahir tidak begitu sering mengakibatkan retardasi mental.
c. Akibat gangguan metabolisme, pertumbuhan atau gizi.
Semua retardasi mental yang langsung disebabkan oleh gangguan metabolisme (misalnya gangguan metabolime lemak, karbohidrat dan protein), pertumbuhan atau gizi termasuk dalam kelompok ini.
Ternyata gangguan gizi yang berat dan yang berlangsung lama sebelum umur 4 tahun sangat memepngaruhi perkembangan otak dan dapat mengakibatkan retardasi mental. Keadaan dapat diperbaiki dengan memperbaiki gizi sebelum umur 6 tahun, sesudah ini biarpun anak itu dibanjiri dengan makanan bergizi, intelegensi yang rendah itu sudah sukar ditingkatkan.
d. Akibat penyakit otak yang nyata (postnatal).
Dalam kelompok ini termasuk retardasi mental akibat neoplasma (tidak termasuk pertumbuhan sekunder karena rudapaksa atau peradangan) dan beberapa reaksi sel-sel optak yang nyata, tetapi yang belum diketahui betul etiologinya (diduga herediter). Reaksi sel-sel otak ini dapat bersifat degeneratif, infiltratif, radang, proliferatif, sklerotik atau reparatif.
e. Akibat penyakit/pengaruh pranatal yang tidak jelas.
Keadaan ini diketahui sudah ada sejak sebelum lahir, tetapi tidak diketahui etiologinya, termasuk anomali kranial primer dan defek kogenital yang tidak diketahui sebabnya.
f. Akibat kelainan kromosom.
Kelainan kromosom mungkin terdapat dalam jumlah atau dalam bentuknya.
g. Akibat prematuritas.
Kelompok ini termasuk retardasi mental yang berhubungan dengan keadaan bayi pada waktu lahir berat badannya kurang dari 2500 gram dan/atau dengan masa hamil kurang dari 38 minggu serta tidak terdapat sebab-sebab lain seperti dalam sub kategori sebelum ini.
h. Akibat gangguan jiwa yang berat.
Untuk membuat diagnosa ini harus jelas telah terjadi gangguan jiwa yang berat itu dan tidak terdapat tanda-tanda patologi otak.
i. Akibat deprivasi psikososial.
Retardasi mental dapat disebabkan oleh fakor-faktor biomedik maupun sosiobudaya.
j. Faktor prekonsepsi
kelainan kromosom (trisomi 21/Down syndrom)
k. Faktor perinatal
prematuritas, perdarahan intrakranial, asphyxia neonatorum.
l. Faktor postnatal
infeksi, trauma, gangguan metabolik/hipoglikemia, malnutrisi

C.KLASIFIKASI
A. Ringan ( IQ 52-69; umur mental 8-12 tahun)
Karakteristik :
a. Usia presekolah tidak tampak sebagai anak RM, ttp terlambat dalam kemampuan berjalan, bicara , makan sendiri, dll
b. Usia sekolah, dpt melakukan ketrampilan, membaca dan aritmatik dg pdd khusus, diarahkan pada kemampuan aktivitas sosial.
c. Usia dewasa, melakukan ketrampilan sosial dan vokasional, diperbolehkan menikah tdk dianjurkan memiliki anak. Ketrampilan psikomotor tdk berpengaruh kecuali koordinasi.
B. Sedang ( IQ 35- 40 hingga 50 - 55; umur mental 3 - 7 tahun)
Karakteristik :
a. Usia presekolah, kelambatan terlihat pada perkembangan motorik, terutama bicara, respon saat belajar dan perawatan diri.
b. Usia sekolah, dpt mempelajari komunikasi sederhana, dasar kesehatan, perilaku aman, serta ketrampilan mulai sederhana, Tdk ada kemampuan membaca dan berhitung.
c. Usia dewasa, melakukan aktivitas latihan tertentu, berpartisipasi dlm rekreasi, dpt melakukan perjalanan sendiri ke tempat yg dikenal, tdk bisa membiayai sendiri.
C. Berat ( IQ 20-25 s.d. 35-40; umur mental < 3 tahun)
Karakteristik :
a. Usia prasekolah kelambatan nyata pada perkembangan motorik, kemampuan komunikasi sedikit bahkan tidak ada, bisa berespon dalam perawatan diri tingkat dasar spt makan.
b. Usia sekolah, gangguan spesifik dlm kemampuan berjalan, memahami sejumlah komunikasi/berespon, membantu bila dilatih sistematis.
c. Usia dewasa, melakukan kegiatan rutin dan aktivitas berulang, perlu arahan berkelanjutan dan protektif lingkungan, kemampuan bicara minimal, meggunakan gerak tubuh.
D. Sangat Berat ( IQ dibawah 20-25; umur mental seperti bayi)
Karakteristik :
a. Usia prasekolah retardasi mencolok, fs. Sensorimotor minimal, butuh perawatan total.
b. Usia sekolah, kelambatan nyata di semua area perkembangan, memperlihatkan respon emosional dasar, ketrampilan latihan kaki, tangan dan rahang. Butuh pengawas pribadi. Usia mental bayi muda.
c. Usia dewasa, mungkin bisa berjalan, butuh perawatan total, biasanya diikuti dengan kelainan fisik.
KLASIFIKASI MENURUT PAGE :
A. Idiot (IQ dibawah 20; umur mental dibawah 3 tahun)
B. Imbisil (IQ antara 20-50, umur mental 3-7,5 tahun)
C. Moron ( IQ 50-70, umur mental 7,5-10,5 tahun)

D.PATOFISIOLOGI
Retardasi mental adalah sekelompok gangguan SSP: disfungsi terlokalisir terutama struktur kortikal termasuk, hipotalamus, dan korteks temporal medial. Kebanyakan individu dengan gangguan kognitif yang signifikan tidak memiliki kelainan struktur dilihat dari otak. Malformasi SSP, yang berkorelasi visual dari gangguan, didiagnosis hanya 10-15% kasus,sedangakan kelainan yang paling umum terdiri dari cacat saraf.
Beberapa sindrom yang abnoramal dengan kelainan terbatas pada sistem organ nonneurologic mungkin berada di dalam 5% dari semua pasien dengan retardasi mental. Antara 3% dan 7% dari kasus dapat berhubungan dengan beragam kesalahan metabolisme bawaan. Paparan alkohol didalam rahim dapat menjelaskan sebanyak 8% mereka terkena retardasi mental ringan.
Kebanyakan individu dengan retardasi mental ringan bebas dari komplikasi neurologis dan malformasi SSP. Hal ini mungkin juga disebabkan status keluarga,status ekonomi,IQ rendah.

E.MANIFESTASI KLINIK
a. Ggn. Kognitif
b. Lambatnya ketrampilan dan bahasa
c. Gagal melewati tahap perkembangan utama
d. Kemungkinan lambatnya pertumbuhan
e. Kemungkinan tonus otot abnormal
f. Terlambatnya perkembangan motorik halus dan kasar


F.PEMERIKSAAN LABORATORIUM DAN DIAGNOSTIK
a. Uji inteligensi standar ( Stanford Binet; Weschler; Bayley Scales of Infant Development, dll)
b. Uji perkembangan seperti Denver II
c. Pengukuran Fs. Adaptif (Vineland Adaptif Behavior Scales; School editin of the adaptive Behavior Scale.)

G.PEMERIKSAAN PENUNJANG
a. Pemeriksaan kromosom
b. Pemeriksaan urin, serum atau virus
c. Test diagnostik spt : EEG, CT Scan untuk identifikasi abnormalitas perkembangan jaringan otak, injury jaringan otak atau trauma yang mengakibatkan perubahan.

H.PENATALAKSANAAN MEDIK
Berikut ini adalah obat-obat yang dapat digunakan :
a. Obat-obat psikotropika ( tioridazin,Mellaril untuk remaja dengan perilaku yang membahayakan diri sendiri
b. Psikostimulan untuk remaja yang menunjukkan tanda-tanda gangguan konsentrasi/gangguan hyperaktif.
c. Antidepresan ( imipramin (Tofranil)
d. Karbamazepin ( tegrevetol) dan propanolol ( Inderal )
Pencegahan :
e. Meningkatkan perkembangan otak yang sehat dan penyediaan pengasuhan dan lingkungan yang merangsang pertumbuhan
f. Harus memfokuskan pada kesehatan biologis dan pengalaman kehidupan awal anak yang hidup dalam kemiskinan dalam hal ini ;
- perawatan prenatal
– pengawasan kesehatan reguler
– pelayanan dukungan keluarga
I. KOMPLIKASI
a. Serebral palcy
b. Gangguan kejang
c. Gangguan kejiwaan
d. Gangguan konsentrasi /hiperaktif
e. Defisit komunikasi
J. INSIDEN
Retardasi mental adalah suatu bentuk kecacatan dimana fungsi intelektual dibawah normal (IQ dibawah 70), keterbatasan signifikan dalam dua atau lebih perilaku adaptif sosial dan keadaannya terlihat sejak kecil yaitu dibawah usia 18 tahun. Kerusakan otak bersifat ireversibel, tetapi terjadinya retardasi mental dapat dicegah. Salah satu faktor penyebab retardasi mental yang dapat dicegah adalah faktor postnatal, yaitu kelainan pascalahir yang dapat menyebabkan gangguan terhadap perkembangan seorang anak pada saat yang dekat dengan waktu kelahiran ataupun sesudahnya, yaitu dimana sel otak sedang berkembang.
Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif observasional yang digunakan untuk memperoleh data yang bersifat kuantitatif. Variabel yang diteliti meliputi karakteristik anak retardasi mental postnatal, trauma berat pada kepala, penyakit infeksi, kejang demam, anoksia dan gangguan gizi kurang. Penelitian dilakukan di SLB Santi Kosala Mastrip Nganjuk pada bulan Oktober 2008 sampai Juli 2009. Subjek penelitian merupakan total populasi yaitu seluruh anak retardasi mental yang disebabkan oleh faktor postnatal, yaitu sebesar 23 anak. Analisis data dilakukan secara deskriptif dengan menyajikan data dalam bentuk tabel frekuensi dan narasi berdasarkan karakteristik subjek penelitian dan variabel penelitian.
Hasil penelitian menunjukkan dari 23 anak retardasi mental postnatal terdapat 12 anak (52,2%) yang pernah mengalami trauma kepala, 9 anak (39,1%) pernah menderita penyakit infeksi, 11 anak (47,8%) yang mempunyai riwayat kejang demam, 14 anak (60,9%) pernah menderita gangguan gizi kurang. Riwayat anoksia tidak pernah dialami oleh anak retardasi mental postnatal di SLB tersebut.
Saran yang bisa diberikan yaitu penelitian selanjutnya diharapkan dapat menambahkan variabel lain penyebab retardasi mental pada anak, sehingga didapat penelitian yang lebih baik. Peningkatan pengawasan dan pemantauan terhadap tumbuh kembang anak serta peningkatan pengetahuan terhadap penanganan secara cepat dan tepat sehingga kemungkinan terburuk dapat diminimalkan. Komunikasi antar orang tua murid dan pihak sekolah perlu dibina untuk mengetahui perkembangan anak.
ASUHAN KEPERAWATAN
A.PENGKAJIAN
Pengkajian terdiri atas evaluasi komprehensif mengenai kekurangan dan kekuatan yang berhubungan dengan ketrampilan adaptif ; komunikasi, perawatan diri, interaksi sosial, penggunaan sarana-sarana di masyarakat pengarahan diri, pemeliharaan kesehatan dan keamanan, akademik fungsional, pembentukan ketrampilan rekreasi dan ketenangan dan bekerja
Pemeriksaan fisik :
1. Kepala : Mikro/makrosepali, plagiosepali (btk kepala tdk simetris)
2. Rambut : rambut jarang/tdk ada, halus, mudah putus dan cepat berubah
3. Mata : mikroftalmia, juling, nistagmus
4. Hidung : jembatan/punggung hidung mendatar, ukuran kecil, cuping melengkung ke atas, dll
5. Mulut : bentuk “V” yang terbalik dari bibir atas, langit-langit lebar/melengkung tinggi
Geligi : odontogenesis yang tdk normal
a. Telinga : keduanya letak rendah
b. Muka : panjang filtrum yang bertambah, hipoplasia
c. Leher : pendek; tdk mempunyai kemampuan gerak sempurna
d. Tangan : jari pendek dan tegap atau panjang kecil meruncing, ibujari gemuk dan lebar, klinodaktil, dll
e. Dada & Abdomen : tdp beberapa putting, buncit.
f. Genitalia : mikropenis, testis tidak turun,
g. Kaki : jari kaki saling tumpang tindih, panjang & tegap/panjang kecil meruncing diujungnya, lebar, besar, gemuk

B.DIAGNOSA
a. Perubahan pertumbuhan dan perkembangan b.d kerusakan fungsi kognitif
b. Perubahan proses keluarga b.d mempunyai anak yang menderita retardasi mental
c. Gangguan interaksi sosial b.d. kesulitan bicara /kesulitan adaptasi social

C. PERENCANAAN KEPERAWATAN
a. Perubahan pertumbuhan dan perkembangan b.d kerusakan fungsi kognitif
HYD: Anak mampu mencapai pertumbuhan dan perkembangan yang optimal
Intervensi :
1. Kaji kemajuan perkembangan anak dengan interval regular
R/rencana perawatan dapat diperbaiki sesuai kebutuhan
2. Bantu keluarga menentukan kesiapan anak untuk mempelajari tugas-tugas khusus
R/karena kesiapan anak tidak mudah untuk dikenali
3. Bantu keluarga menyusun tujuan yang realistis untuk anak
R/mendorong keberhasilan pencapaian sasaran dan harga diri
4. Berikan penguatan positif atas tugas-tugas khusus atau perilaku anak
R/karena hal ini dapat memeprbaiki motivasi dan pembelajaran
5. Dorong untuk mempelajari keterampilan perawatan diri segera setelah anak mencapai kesiapan
R/untuk memfasilitasi perkembangan yang optimal
6. Kolaborasi dengan psikolog
R/ bantu dalam identifikasi cara untuk meningkatkan kemandirian. Pasien akan memerlukan bantuan lanjut untuk mengatasi masalah emosi.

b. Perubahan proses keluarga b.d mempunyai anak yang menderita retardasi mental
HYD: pasien (keluarga) mendapat dukungan yang adekuat.
Intervensi:
1. Berikan informasi pada keluarga sesegera mungkin pada saat atau setelah kelahiran.
R/ keluarga dapat mencurigai adanya masalah dan mungkin memerlukan dukungan yang segera.
2. Ajak kedua orang tua untuk hadir pada konferensi pemberian informasi.
R/ agar orang tua yang satu tidak harus mengulangi informasi yang kompleks tersebut ke orang tua yang lain.
3. Tekankan karakteristik normal anak
R/ untuk membantu keluarga melihat anak sebagai individu dengan kekuatan serta kelemahannya masing-masing.
4. Dorong anggota keluarga untuk mengeskpresikan perasaan dan kekhawatirannya
R/ hal ini merupakan bagian dari proses adaptasi.
5. Dorong keluarga untuk bertemu dengan keluarga lain yang mempunyai masalah yang sama
R/ mereka dapat menerima dukungan tambahan.
6. Diskusikan dengan anggota keluarga tentang manfaat dari perawatan di rumah
R/ dapat memberi kesempatan pada mereka untuk menyelidiki semua alternatif residensial sebelum membuat keputusan.

c. Gangguan interaksi sosial b.d. kesulitan bicara /kesulitan adaptasi social
HYD: anak mampu bersosialisasi dengan baik di lingkungannya.
Intervensi:
1. Kaji faktor penyebab gangguan perkembangan anak
R/ faktor penyebab dapat membantu proses perkembangan mental anak.
2. Tingkatkan komunikasi verbal dan stimulasi taktil
R/ melatih klien untuk beradaptasi dengan lingkungan disekitarnya
3. Dorong anak melakukan sosialisasi dengan kelompok
R/ meningkatkan perkembangan interaksi social.
4. Berikan instruksi berulang dan sederhana
R/ ingatan klien masih terbatas sehingga diperlukan pengulangan informasi
5. Dorong anak melakukan perawatan sendiri
R/ meningkatkan kemandirian anak
6. Ciptakan lingkungan yang aman
R/ mendukung perkembangan anak dalam beradaptasi dengan lingkungannya

Minggu, 20 Februari 2011

LUPUS ERITEMATOSUS SISTEMIK (LES)

 PENGERTIAN
Lupus Eritematosus sistemik (LES) adalah penyakit radang multisistem yang penyebabnya belum diketahui , dengan perjalanan penyakit yang mungkin akut dan fulminan atau kronik remisi dan aksaserbasi, disertai oleh terdapatnya berbagai macam autoantibodi dalam tubuh.
 ETIOLOGI
Sampai saat ini penyebab LES belum diketahui. Diduga faktor genetik, infeksi dan lingkungan ikut berperan pada faktor patofisiologi LES.
Sistem imun tubuh kehilangan kemampuan untuk membedakan antigen dari sel jaringan tubuh sendiri. Penyimpangan reaksi imunologis ini akan menghasilkan antibodi secara terus menerus. Antibodi ini juga berperan dalam pembentukan kompleks imun sehingga mencetuskan penyakit inflamasi imun sistemik dengan kerusakan multiorgan.
 FAKTOR RESIKO
1. Faktor resiko genetik meliputi jika (frekuensi pada wanita dewasa 8 kalilebih sering dari pada pria dewasa). Umur (lebih sering pada usia 20-40 tahun), etnik, dan faktor keturunan (frekuensinya 20 kali lebih sering dalam keluarga dimana terdapat anggota dengan penyakit tersebut)
2. Faktor resiko hormon, estrogen menambah resiko LES, sedangkan endrogen mengurangi resiko ini.
3. Sinar ultra violet, mengurangi supresi imun sehingga terapi menjadi kurang efektif, sehingga LES kambuh atau bertambah berat. Ini disebabkan sel kulit mengeluarkan sitokin dan prostaglandin sehingga terjadi inflamasi ditempat tersebut sehingga secara sistemik melalui pererdaran dipembuluh darah.
4. Imunitas, pada pasien LES terdapat hiperaktivitas sel B atau toleransi terhadap sel T.
5. Obat, obat tertentu dalam presentase kecil sekali pada pasien tertentu dan dimana dalam jangka waktu tertentu dapat mencetuskan lupus obat (Drug Induced Lupus Erythematosus atau DILE). Jenis obet yang menyebabkan lupus adalah : klorpromazin, metildopa, hidralasin, prokainamid, dan isoniazid.
6. Infeksi, pasien LES cenderung mudah mendapat infeksi dan kadang-kadang penyakitnya ini kambuh setelah infeksi.
7. Stress, stres berat dapat mencetuskan LES pada pasien yang sudah memiliki kecenderungan akan pasien ini.
 MANIFESTASI KLINIS
Keluhan pertama dan utama pada LES adalah artralgia (pegal dan linu didalam sendi). Dapat juga timbul artritis nonerosif pada dua atau lebih sendi perifer. Artritis biasanya berlangsung hanya beberapa hari lokasi atritis akut biasanya disendi tangan, pergelangan tangan, dan lutut, serta biasanya simetris. Artritis dapat berpindah-pindah atau tetap disatu sendi dan jadi menahun.
Terlihat kelainan kulit spesifik berupa berak malar menyerupai kupu-kupu dimuka dan eritema umum yang menonjol. LES kambuh bila terjemur sinar matahari cukup lama.
Dapat pula terjadi kelainan darah berupa anemia hemolitik, kelainan ginjal, pneumonitis, kelainan jantung, kelainan gastrointestinal dan kelainan psikiatrik.
 DIGNOSIS
Diagnosis LES dapat ditegakkan jika pada satu priode pengamatan ditemukan 4 kriteria atau lebih dari 11 kriteria dibawah ini, baik secara berturut-turut maupun serentak.
1. Ruam (rash) didaerah malar
Ruam berupa eritema terbatas, rata atau meninggi, letaknya didaerah malar, biasanya tidak mengenai lipat nasolabialis.
2. Lesi diskoid
Lesi ini berupa bercak eritematosa yang meninggi dengan sisik keratin yang melekat disertai penyumbatan folikel. Pada lesi yang lama mungkin terbentuk sikatriks.
3. Fotosensitivitas
Terjadi lesi kulit sebagai reaksi abnormal terhadap cahaya matahari.
4. Ulserasi mulut
Ulserasi dimulut atau nasofaring, biasanya tidak nyeri.
5. Artritis
Artritis non-erosif yang mengenal dua sendi perifer ditandai oleh nyeri, bengkak atau efusi.
6. Serositis
a. Pleuritis
b. Perikarditis
7. Kelainan ginjal
a. Proteinuria yang selalu > 0,5 g/hari atau > 3 +
b. Ditemukan silinder sel mungkin eritrosit, hemoglobulin granular tubular atau campuran.
8. Kelainan Neurologis
a. Kejang yang timbul spontan tanpa adanya obat-obatan yang dapat menyebabkan atau kelainan metabolik seperti uremia, ketosidosis, dan gangguan keseimbangan elektrolit.
b. Psikosis yang timbul spontan tanpa adanya obat-obat yang dapat menyebabkannya atau kelainan metabolik seperti uremia, ketosidosis dan gangguan keseimbangan elektrolit.
9. Kelainan hematologik
a. Anemia hemolitik dengan retikulositosis
b. Leukopenia, kurang dari 4000/mm pada dua kali pemeriksaan atau lebih.
c. Limfopenia, kurang dari 1500/mm pada 2 kali pemeriksaan atau lebih.
d. Trombositopenia, kurang dari 100.000/ mm , tanpa adanya obet yang mungkin menyebabkannya.
10. Kelainan imunologi
a. Adanya sel LE
b. Anti DNA: antibodi terhadap native DNA (anti-dsDNA) denagan titer abnormal.
c. Anti –sm : adanya antibodi terhadap antigen inti otot polos.
d. Uji serologi untuk sifilis yang positif semu selama paling sedikit 6 bulan dan diperkuat oleh uji imobilisasi treponema pallidum atau uji fluoresensi absorpsi antibodi troponema.
11. Antibodi antinuklear
Titer abnormal antibodi antinuklear yang diukur dengan cara imunofluoresensi atau cara lain yang setara pada waktu yang sama dan dengan tidak adanya obat-obat yang berkaitan dengan sindrom lupus karena obat.
 PEMERIKSAAN PENUNJANG
o Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan laboratorium mencakup pemeriksaan:
a. Hematologi
Ditemukan anemia, leukopenia,trombositopenia.
b. Kelainan imunologis
Ditemukan sel LE, antibodi antinuklir, komplemen serum menurun, anti DNA, ENA (extractable nuclear antigen), faktor reumatoid, krioglobulin, dan uji lues yang positif semu.
o Histopatologi
• Umum:
Lesi yang dianggap karakteristik untuk SLE ialah badan hematoksilin, lesi onion-skin pada pembuluh darah limpa dan endokarditis verukosa Libman-Sacks.
• Ginjal :
2 bentuk utama ialah glomerulus proliferatif difus dan nefritis lupus membranosa.
• Kulit :
Pemeriksaan imunofluresensidirek menunjukkan deposit IgG granular pada dermo-epidermal junction, baik pada lesi kulit yang aktif (90%) maupun pada kulit yang tak terkena (70%) (lupus band test) yang paling karakteristik untuk SLE ialah jika ditemukan pada kulit yang tidak terkena dan tidak terpajan (non-exposed areas).
 PENATALAKSANAAN
Untuk penalataksanaan, pasiemn LES dibagi menjadi ;
1. kelompok Ringan :
LES dengan gejala –gejala panas, artritis, perikarditis ringan, kelelehan dan sakit kepala.
2. Kelompok Berat :
LES dengan gejala-gejala efusi pleura dan perikarmasif, penyakit ginjal, anemi hemolitik, trombositopema, lupus serebral, vaskulitis akut, mio karditis, pneomoritis lupus dan peredaran parut.

PENATALAKSAAN UMUM.
1. Upaya mengurangi kekelahan disamping pemberian obat ialah cukup istirahat, perbatasan aktinitas yang berlebihan dan mampu mengubah gaya hidup.
2. hindari merokok, perubahan cuaca, stres dan trauma fisik.
3. Diet sesuai kelainan.
4. Hindari pukul 10.00 – 15.00 dan hindari pemakaian kontrasepsi atau obat lain yang mengandung hormon estrogen.
PENATALAKSANAAN MEDIKAMENTOSA :
1. LES derajat ringan, yaitu :
• Aspirin dan obat anti-inflamasi non streoid.
• Penambahan obat anti malaria hanya bila ada ruam kulit dan lesi dimukaosa membran.
• Bila gagal, dapat ditambah prednison 2,5 –5 mg/hari. Dosis dapat dinaikkan 20% secara bertahap tiap 1 – 2 minggu sesuai kebutuhan.
2. LES derajat berat :
• Pemberian streoid istemik merupakan pertama dengan dosis sesuai dengaqn kelainan organ sasdaran yang terkena
3. Pengobatan pada keadaan khusus
• Anemia Hemolitik autoimun. Prednison 60 – 80 mg/hr (1 – 1,5 mg/kg BB/hari ). Dapat ditingkatkan sampai 100 – 120 kg/hr bl dalam beberapa hari sampai 1 gg blm ada perbaikan respon dalam 4 mgg, ditambahkan imonoglobulin intervena (IV ig) dengan dosis 0,4 mg/kg BB/hr selama 1 hario berturut-turut.
• Vaskulis sistemik akut prednison 60-100 mg /hr dalam kadaan akut diberikan parenteral.
• Perikarditis ringan , obat antiinflamasi non streoid atau anti malaria. Bila tidak efektif, dapat diberikan predinson 20 – 40 mg/hr.
• Miokardityis, prednison 1 mg/kg BB/hr dan bila tidak efektif dpat dikombinasikan sistem fosfamid.
• Efusi fluera predinson 15 – 40 mg/hr. bila efusi masih dilakukan efusi fleura / drynase.
• Lupus pneomonitis. Prednison 1 – 1,5 mg/kg bb/hr untuk 3 – 5 hari bila berhasil dilanjutkan pemberian oral 5 – 7/hr lalu diturunkan perlahan dapat diberikan metil prednison solon pulse dosis selama 3 hr berturut-turut.

Asuhan Keperawatan BBLR

A. Pengertian
Bayi Berat Lahir Rendah adalah bayi baru lahir dengan berat badan lahirnya pada saat kelahiran kurang dari 2500 gram atau bayi lahir dengan masa gestasi kurang dari 37 minggu (Bagian Ilmu Kesehatan Anak FKUI, 1985)

B. Pembagian BBLR
Bayi berat lahir rendah dapat dibagi menjadi :
1. Prematuritas murni
Masa gestasi ibu kurang dari 37 minggu
Penyebab :
 Faktor ibu
Penyakit yang berhubungan dengan kehamilan, seperti : hipertensi, jantung, gangguan pembuluh darah (perokok), usia ibu kurang dari 20 tahun, keadaan social ekonomi yang buruk, jarak hamil dan bersalin terlalu dekat, gizi saat hamil kurang.
 Faktor janin
Cacat bawaan, infeksi dalam rahim
 Faktor kehamilan
Hidraminon, gameli, perdarahan antepartum, pre-eklampsi / eklampsi, ketuban pecah dini
Karakteristik :
 Berat badan kurang dari 2500 gram, panjang kurang atau sama dengan 45 cm, lingkar dada kurang dari 30 cm, lingkar kepala kurang dari 33 cm.
 Masa gestasi kurang dsari 37 minggu
 Kulit tipis, transparan, lanugo banyak, lemak sub kutan tipis, ubun-ubun dan sutura lebar
 Otot hipotonik (lemah)
 Kepala tidak mau tegak
 Pernapasan tidak teratur dapat terjadi apnea (gagal napas)s
 Ekstremitas : paha abduksi, sendi lutut / kaki fleksi lurus
 Pernapasan sekutar 45 sampai 50 kali per menit
 Frekwensi nadi 100 sampai 140 kali per menit
Penyakit yang sering ada pada BBLR
 Syndrom gangguan pernapasan idiopatik
 Pneumonia aspirasi
 Perdarahan intraventrikuler
 Fibriplasia retrorental
 Hyperbiolirubinemia

2. Dismaturitas
Dismaturitas adalah bayi baru lahir yang berat badannya kurang disbanding bertat badan seharusnya untuk masa gestasi bayi itu.
Gejala klinis :
 Berat badan kyrang dari 2500 gram
 Karakteristik sama dengan prematuritas tetapi kadang retardasi pertumbuhan dan wasting
Komplikasi dismaturitas :
 Syndrom aspirasi mekonium
 Hypoglikemi simptomatik
 Asfiksia neonaturum
 Penyakit membrane hialin
 Hyperbilirubinemia

Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam BBLR adalah :
 Suhu Tubuh
 Pusat pengatur napas badan masih belum sempurna
 Luas badan bayi relatif besar sehingga penguapannya bertambah
 Otot bayi masih lemah
 Lemak kulit dan lemak coklat kurang, sehingga cepat kehilangan panas badan
 Kemampuan metabolisme panas masih rendah, sehingga bayi dengan berat badan lahir rendah perlu diperhatikan agar tidak terlalu banyak kehilangan panas badan dan dapat dipertahankan.
 Pernapasan
 Fungsi pengaturan pernapasan belum sempurna
 Surfaktan paru-paru masih kurang, sehingga perkembangannya tidak sempurna
 Otot pernapasan dan tulang iga lemah
 Dapat disertai penyakit : penyakit hialin membrane, mudah infeksi paru-paru dan gagal pernapasan.
 Alat pencernaan makanan
 Belum berfungsi sempurna sehingga penyerapan makanan dengan lemah / kurang baik
 Aktifitas otot pencernaan makanan masih belum sempurna , sehingga pengosongan lambung berkurang
 Mudah terjadi regurgitasi isi lambung dan dapat menimbulkan aspirasi pneumonia
 Hepar yang belum matang (immatur)
Mudah menimbulkan gangguan pemecahan bilirubin, sehingga mudah terjadi hyperbilirubinemia (kuning) samai ikterus
 Ginjal masih belum matang
Kemampuan mengatur pembuangan sisa metabolisme dan air masih belum sempurna sehingga mudah terjadi oedema
 Perdarahan dalam otak
 Pembuluh darah bayi BBLR masih rapuh dan mudah pecah
 Sering mengalami gangguan pernapasan, sehingga memudahkan terjadinya perdarahan dalam otak
 Perdarahan dalam otak memperburuk keadaan dan menyebabkan kematian bayi
 Pemberian O2 belum mampu diatur sehingga mempermudah terjadi perdarahan dan nekrosis

C. PERAWATAN BBLR
Dengan memperhatika gambaran klinis diatas dan berbagai kemungkinan yang dapat terjadi pada bayio BBLR, maka perawatan dan pengawasan bayi BBLR ditujukan pada pengaturan panas badan, menghindari infeksi, pemberian makanan bayi dan pernapasan.

Pengaturan Suhu Tubuh BBLR
Bayi BBLR mudah dan cepat sekali menderita Hypotermia bila berada di lingkungan yang dingin. Kehilangan panas disebabkan oleh permukaan tubuh bayi yang realtif lebih luas bila dibandingkan dengan berat badan, kurangnyua jaringan lemak dibawah kulit, dan kekurangan lemak coklat (Brown Fat). Untuk mencegah hypotermi, perlu diusahakan lingkungan yang cukup hangat untuk bayi dan dalam keadaan istrahat konsumsi oksigen paling sedikit, sehingga suhu tubuh bayi tetap normal. Bila bayi dirawat dalam inkubator, maka suhunya untuk nayi dengan berat badan kurang dari 2000 gram adalah 35 0C dan untuk bayi dengan BB 2000 gram sampai 2500 gram 34 0C, agar ia dapat mempertahankan suhu tubuh sekitar 37 0C. Kelembaban inkubator berkisar antara 50 – 60 persen. Kelembaban yang lebih tinggi diperlukan pada bayi dengan syndroma gangguan pernapasan. Suhu inkubator dapat diturunkan 1 0C per minggu untuk bayi dengan berat badan 2000 gram dan secara berangsur – angsur ia dapat diletakkan didalam tempat tidur bayi dengan suhu lingkungan 27 0C-29 0C. Bila inkubator tidak ada, pemanasan dapat dilakukan dengan membungkus bayi dan meletakkan botol-botol hangat disekitarnya atau dengan memasang lampu petromaks di dekat tempat tidur bayi atau dengan menggunakan metode kanguru. Cara lain untuk mempertahankan suhu tubuh bayi sekitar 36 0C - 37 0C adalah dengan memakai alat perspexheat shield yang diselimuti pada bayi didalam inkubator. Alat ini berguna untuk mengurangi kehilangan panas karena radiasi. Akhir-akhir ini telah dimulai digunakan inkubator yang dilengkapi dengan alat temperatur sensor (Thermistor probe). Alat ini ditempelkan dikulit bayi. Suhu inkubator dikontrol oleh alat servomechanism. Dengan cara ini suhu kulit bayi dapat dipertahankan pada derajat yang telah ditetapkan sebelumnya. Alat ini sangat bermanfaat untuk bayi dengan berat lahir yang sangat rendah.
Bayi dalam inkubator hanya dipakaikan popok. Hal ini penting untuk memudahkan pengawasan mengenai keadan umum, perubahan tingkah laku, warna kulit, pernapasan, kejang dan sebagainya sehingga penyakit yang diderita dapat dikenal sedini mungkin dan tindakan serta pengobatan dapat dilaksanakan secepat-cepatnya.

Pencegahan Infeksi
Infeksi adalah masuknya bibit penyakit atau kuman kedalam tubuh, khususnya mikroba. Bayi BBLR sangat mudah mendapat infeksi. Infeksi terutama disebabkan oleh infeksi nosokomial. Kerentanan terhadapa infeksi disebabkan oleh kadar imunoglobulinserum pada bayi BBLR masih rendah, aktifitas bakterisidal neotrofil, efek sitotoksik limfosit juga masih rendah dan fungsi imun belum berpengalaman.
Infeksi local bayi cepat menjalar menjadi infeksi umum. Tetapi diagnosis dini dapat ditegakkan jika cukup waspada terhadap perubahan (kelainan) tingkah laku bayisering merupakan tanda infeksi umum. Perubahan tersebut antara laian : malas menetek, gelisah, letargi, suhu tyubuh meningkat, frekwensi pernapasan meningkat, muntah, diare, berat badan mendadak turun.
Fungsi perawatan disini adalah memberi perlindungan terhadap bayi BBLR dari infeksi. Oleh karena itu, bayi BBLR tidak boleh kontak dengan penderita infeksi dalam bentuk apapun. Digunakan masker dan baju khusus dalam penanganan bayi, perawatan luka tali pusat, perawatan mata, hidung, kulit, tindakan aseptic dan antiseptic alat-alat yang digunakan, isolasi pasien, jumlah pasien dibatasi, rasio perawat pasien ideal, mengatur kunjungan, menghindari perawatan yang yang terlalu lama, mencegah timbulnya asfiksia dan pemberian antibiotic yang tepat.

Pengaturan Intake
Pengaturan intake adalah menentukan pilihan susu, cara pemberian dan jadwal pemberian yang sesuai dengan kebutuhan bayi BBLR.
ASI (Air Susu Ibu) merupakan pilihan pertama jika bayi mampu mengisap. ASI juga dapat dikeluaekan dan diberikan pada bayi yang tidak cukup mengisap. Jika ASI tidak ada atau tidak mencukupi khususnya pada bayi BBLR dapat digunakan susu Formula yang komposisinya mirip ASI atau susu formula khusu bayi BBLR.
Cara pemberian makanan bayi BBLR harus diikuti tindakan pencegahan khusus untuk mencegah terjadinya regurgitasi dan masuknya udara dalam usus. Pada bayi dalam incubator dengan kontak yang minimal, tempat tidur atau kasur incubator harus diangkat dan bayi dibalik pada sisi kanannya. Sedangkan pada bayi lebih besar dapat diberi makan dalam posisi dipangku. Pada bayi BBLR yang lebih kecil, kurang giat dan mengisap dan sianosis ketika minum melalui botol atau menetek pada ibunya, makanan diberikam melalui NGT
Jadwal pemberian makanan disesuaikan dengan kebutuhan dan berat badan bayi BBLR. Pemberian makanan interval tiap jam dilakukan pada bayi dengan Berat Badan lebih rendah

PERNAPASAN
Jalan napas merupakan jalan udara melalui hidung, pharing, trachea, bronchiolus, bronchiolus respiratorius, dan duktus alveoleris ke alveoli. Terhambatnya jalan napas akan menimbulkan asfiksia, hipoksia dan akhirnya kematian. Selain itu bayi BBLR tidak dapat beradaptasi dengan asfiksia yang terjadi selama proses kelahiran sehingga dapat lahir dengan asfiksia perinatal. Bayi BBLR berisiko mengalami serangan apneu dan defisiensi surfakatan, sehingga tidak dapat memperoleh oksigen yang cukup yang sebelumnya diperoleh dari plasenta. Dalam kondisi seperti ini diperlukan pembersihan jalan napas segera setelah lahir (aspirasi lendir), dibaringkan pada posisi miring, merangsang pernapasan dengan menepuk atau menjentik tumit. Bila tindakan ini gagal, dilakukan ventilasi, intubasi endotrakheal, pijatan jantung dan pemberian oksigen dan selama pemberian intake dicegah terjadinya aspirasi. Dengan tindakan ini dapat dicegah sekaligus mengatasi asfiksia sehingga memperkecil kematian bayi BBLR.
E. ASUHAN KEPERAWATAN
1. PENGKAJIAN
 Biodata, meliputi : Nama kedua orang tua klien, nama klien, umur dan jenis kelamin.
 Riwayat kelahiran lalu, meliputi : Berat badan lahir, adanya komplikasi atau tidak, jenis persalinan dan tempat lahir.
 Status gravida ibu, meliputi : G, P, A (Gravida, Partus, Abortus), umur kehamilan, presentasi bayi, pemeriksaan antenatal, HPHT dan taksiran partus.
 Riwayat persalinan, meliputi : BB / TB ibu, keadan umum ibu, jenis persalinan, indikasi persalinan, komplikasi persalinan, TTV ibu pada saat melahirkan.
 Keadaan bayi saat lahir, meliputi : lahir tanggal berapa, jenis kelamin, kelahiran tunggal atau ganda
 Apgar skore
 Pemeriksaan fisik, yaitu :
a. Aktifitas istrahat
Status sadar, bayi tampak semi koma saat tidur malam, meringis atau tersenyum adalah bukti tidur dengan gerakan mata cepat (REM), tidur sehari rata-rata 20 jam.
b. Sirkulasi
Rata-rata nadi apical 120-160 dpm, dapat berfluktuasi 70-100 dpm (tidur) samapai 180 dpm (menangis), nadi perifer mungkin lemah, nadi brachialis dan radialis lenih mudah dipalpasi daripada nadi femoralis, mur-mur jantungss.
c. Eliminasi
Abdomen lunak tanpa distensi, bising usus aktif, urine tidak berwarna atau kuning pucat, dengan 6-10 popok basah / 24 jam.
d. Makanan / cairan
Berat badan rerata 2500 – 4000 gram, kurang dari 2500 gram menunjukkan KMK (premature, syndrome rubella, gamely) lebih dari 4000 gram menunjukkan BMK (diabetes maternal atau dapat dihubungkan dengan herediter), pada mulut, saliva banyak.
e. Neourosensori
Lingkae kepala 32-37 cm, fontanel anterior dan posterior lunak dan datar, ceput suksadaneum mungkin ada selama 3-4 hari, mata dan kolopak mata mungkin edema, strabismus dan fenomena mata boneka mungkin ada, lipatan epicantus, adanya refleks (moro, plantar, palmar, babinski) tidak adanya kegugupan, letargi hipotonia, parese.
f. Pernasan
Takipnea sementara dapat terlihat, khususnya setelah kelahiran sesaria dan presentase bokong, pola pernafasan diafragmatik dan abdominal dengan gerakan sinkron dari dada dan abdomen, pernafasan dangkal dan cuping hidung, retraksi dinding dada, dan ronchi pada inpirasi atau ekspirasi dapat menandakan aspirasi
g. Keamanan
Karena kulit kemerahan atau kebiruan, cepal hemataom tampak sehari setelah kelahiran, peningkatan ukuran pada usia 2-3 hari kemudiandireabsorbsi perlahan lebih dari 1-6 bulan, pergerakan ekstremitas dan tonus otot baik.
h. Seksualitas.
Genetalia wanita : labia vagina agak kemerahan atau edema, tanda vagina / hymen dapat terlihat
Genetalia pria : testis turun, scrotum tertutup dengan rugae, fimosis juga biasa terjadi
i. Pemeriksaan Diagnostik :
 Leukosit : 18.000 / mm3
 Hemoglobin : 15-20 gram / dl
 Hematokrit : 43 % - 61 %
 Bilirubin total : 6 mg/dl pada hari pertama kehidupan, 8 mg/dl 1-2 hari dan 12 minggu / dl pada 3-5 hari
 Dektrosit : tetes glukosa pertama selama 4-6 jam pertama kelahiran rata-rata 40-50 mg/dl, meningkat 60 - s70 mg/dl pada hari ke-3

2. Diagnosa Keperawatan
 Gangguan pertukaran gas b/d ketidak adekuatan kadar surfaktan sekunder terhadap pertumbuhan organ paru yang tidak sempurna
Tujuan :
Setelah dilakukan tindakan keperawatan kadar PO2 / PCO2 dalam batas normal
Intervensi :
a. Tinjau ulang tentang kondisi bayi, lama persalinan, apgar skore, tindakan akan resusitasi saat kelahiran.
R/ : Persalinan yang lama akan meningkatkan resiko hipoksia, dan depresi pernapasan dapat terjadi setelah pemberian atau penggunaan obat oleh ibu.
b. Perhatikan usia gestasi, berat badan dan jenis kelamin
R/ : Neonatus l;ahir sebelum minggu ke-30 atau BB kurang dari 1500 gram berisiko terhadap terjadinya RDS
c. Kaji status pernapasan, perhatikan tanda-tanda distress pernapasan
R/ : Takipnea menandakan distress pernapasan khususnya pernapasan lebih dari 60 kali permenit setelah 5 jam pertama kehidupan.
d. Tingkatkan istrahat, minimalkan rangsangan dan penggunaan energi
R/ : Mungkin perlu untuk mempertahankan kepatenan jalan napas, khususnya pada bayi yang menerima ventilasi terkontrol. Bayi biasanya tidak mengembangkan refleks terkoordinasi, untuk mengisap, menelan dan bernapas sampai gestasi minggu ke-32 sampai ke-34
e. Observasi dan pantau tanda lokasi sianosis
R/ : Sianosis adalah tanda lanjut dari PAO2 rendah dan tidak sampai ada sedikit lebih dari 3 gram / dl
f. Kolaborasi dalam pemberian oksigen sesuai dengan kebutuhan
R/ : Perbaikan kadar oksigen dan karbon dioksida dapat meningkatkan fungsi pernapasan.
 Pola napas tidak efektif b/d penurunan energi / kelelahan
Tujuan :
Mempertahankan pola napas periodic dengan membrane mukosa merah muda dan frekwensi jantung dalam batas normal.
Intervensi :
a. Kaji frekwensi pernapasan dan pola pernapasan, perhatikan adanya apnoe, perubahan frekwensi jantung, tonus otot dan warna kulit.
R/ : Membantu dalam membedakan periode perputaran pernapasan normal dari serangan apnoeik sejati, yang terutama sering terjadi sebelum gestasi minggu ke-30
b. Lakukan section sesuai kebutuhan
R/ : Menghilangkan mucus yang menyumbat jalan napas
c. Pertahankan suhu tubuh optimal
R/ : Inkubator dapat memanejemenkan sesuai dengan kebutuhan dan kondisi bayi
d. Berikan rangsangan taktil yang segera bila terjadi apnea. Perhatikan adanya sianosis, bradikardi dan sebagainya.
R/ : Merangsang SSP untuk meningkatkan gerakan tubuh dan kembalinya pernapasan spontan
e. Pantau pemeriksaan laboratorium seperti AGD, elektrolit
R/ : Hipoksia, asidosis metabolic, hyperkapnia, hypoglikemia, hipokalsemia dan sepsis dapat memperberat serangan apneik.
f. Berikan oksigen sesuai indikasi
R/ : Perbaikan kadar oksigen dan karbon dioksida dapat meningkatkan fungsi pernapasan.
 Hipotermi b/d penurunan lemak subkutan
Tujuan :
Setelah dilakukan tindakan keperawatan, suhu tubuh dalam batas normal.
Intervensi :
a. Kaji suhu tubuh bayi dengan sering, ulangi 15 menit.
R/ : Fluktuasi suhu tubuh pada bayi sering terjadi, dengan mengenali suhu tubuh (panas atau dingin) maka akan dapat dihindari terjadinya komplikasi hypothermia atau hyperthermia
b. Tempatkan bayi pada penghangat (incubator).
R/ : Incubator dapat dimanajemenkan sesuai dengan kebutuhan dan kondisi
c Ganti pakaian dan linen tempat tidur bila basah
R/ :Pertahankan lingkungan tetap kering dan mencegah dekubitur
d Perhatikan adanya takipone atau apnoe, sianosis umum
R/ : Merangsang SSP untuk meningkatkan gerakan tubuh dan kembalinya pernapasan spontan.
e Pantau pertambahan berat badan berturut-turut bila penambahan tidak akurat, tingkat suhu lingkungan sesuai dengan indikasi.
R/ : Mengetahui kenaikan BB bayi dan keefektifan pemberian nutrisi baik ASI maupun PASI dan mengetahui jumlah pemasukan
f Pantau frekuensi dan masukan makanan
R/ : Untuk mengetahui seberapa banyak asupan nutrisi yang masuk
 Kekurangan volume cairan b/d kehilangan cairan yang berlebihan akibat jaringan kulit yang tipis
Tujuan :
Setelah dilakukan tindakan keperawatan klien bebas dari tanda-tanda dehidrasi
Intervensi :
a. Timbang BB bayi srtiap hari dengan ukuran yang sama dan waktu yang sama
R/ : Mengetahui kenaikan BB bayi dan keefektifan pemberian nutrisi baik ASI maupun PASI dan mengetahui jumlah pemasukan
b. Ukuran masukan (input) dan output cairan
R/ : Perlu untuk menentukan fungsi ginjal, kebutuhan penggantian cairan dan penurunan resiko kelebihan cairan
c. Pantau tanda-tanda vital
d. Evaluasi turgor kulit, membrane mukosa, keadan fontanel anterior
e. Pantau pemeriksaan laboratorium sesuai indikasi (Ht, Kalium, Serum)
 Gangguan pemenuhan nutrisi kurang dari kebutuhan b/d malabsorbsi sekunder terhadap lemahnya tonus spinter oesofagus
Tujuan :
Setelah dilakukan tindakan keperawatan kebutuhan nutrisi terpenuhi
Intervensi :
a. Kaji maturitas refleks berkenan dengan pemberian makanan
b. Auskultasi bisisng usus, kaji status pernapasan
c. Kolaborasi dalam pemberian alat Bantu pemberian makanan sementara (magslang)
d. Beri ASI/PASI sedikit-sedikit tapi sering
e. Kaji tingkat energi dan penggunaannya
f. Perhatikan adanya diare dan muntah
 Resiko komplikasi : hypewrbilirubin, pertumbuhan tulang, kerusakan SSP
Tujuan :
Komplikasi tidsak terjadi
Intervensi :
a. Kolaborasi dalam pemeriksaan tes Coomb pada tali pusat, bilirubin total dan sebagainya
b. Observasi bayi dalam sinar alamiah, perhatikan selera dan mukosa oral, kulit dan sebagainya
c. Beri intake nutrisi yang cukup sesuai kebutuhan
d. Kolaborasi dalam pemberian Mg dan Ca


DAFTAR PUSTAKA

Bobak Irene M dan Jensen Margaret D, Perawatan Maternitas dan Ginekologi II. Yayasan Ikatan Alumni Pendidikan Padjajaran : Bandung 2000
Wiknjosastro Hanifa, DSOG, dr. Prof. Ilmu Kebidanan. Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo : Jakarta 1999
Mochtar Rustam MPH. Dr. Prof. Sinopsis Obstetri Jilid I Edisi 2. penerbit Buku Kedokteran, EGC. Jakarta 1998
Carpenito Linda J, Buku Saku keperawatan Edisi 6. Penerbit Buku Kedokteran, EGC : Jakarta
Manuaba Ida Bagus Gede DSOG. Dr. Prof. Ilmu Kebidanan, Penyakit Kandungan dan Keluarga Berencana. Penerbit Buku Kedokteran, EGC, Jakarta 1998
Carpenito Linda J, Rencana Asuhan dan Dokumentasi Keperawatan, Edisi 2. Penerbit Buku Kedokteran, EGC : Jakarta 1997
Doengoes Marilyn E. dan Moorhouse Mary Frances. Rencana Perawatan Maternal / Bayi. Penerbit Buku Kedokteran, EGC. Jakarta 2001

Makalah Infark Miokard Akut (IMA)

I. PENDAHULUAN
Infark Miokardium Akut (IMA) adalah nekrosis miokard akibat aliran darah keotot jantung terganggu. Umumnya IMA didasari oleh adanya arterosklerosis pembuluh darah kororner. Nekrosis miokard ini hampir selalu terjadi akibat penyumbatan total arteri korornaria oleh trombus yang terbentuk pada plaque arterosklerosis yang tidak stabil; juga seringkali mengikuti ruptur plague pada arteri koroner dengan stenosis ringan. Kerusakan miokard ini terjadi dari endokardium ke epikardium, menjadi komplit dan irreversibel dalam 3-4 jam dan akan terus mengalami proses injury selama beberapa minggu atau bulan.
Secara morfologis IMA dibedakan atas dua jenis yaitu IMA transmural, yang mengenai seluruh dinding miokard dan terjadi pada daerah distribusi suatu arteri koroner; dan IMA sub-endokardial dimana nekrosis hanya terjadi pada bagian dalam dinding ventrikel dan umumnya berupa bercak-bercak dan tidak konfluens. IMA sub-endokardial dapat regional (terjadi pada distribusi satu arteri koroner) atau difus (terjadi pada distribusi lebih dari satu arteri koroner).

II. ETIOLOGI
Penyebab penurunan suplay darah mungkin disebabkan karena penyempitan kritis arteri koroner karena arterosklerosis atau penyumbatan total arteri oleh emboli ataupun trombus. Penurunan aliran koroner juga dapat diakibatkan oleh adanya shock atau perdarahan. Pada setiap kasus ini selalu terjadi ketidakseimbangan antara suplay dan kebutuhan oksigen dijantung.

III. PATHOFISIOLOGI
Infark Miokard merupakan blok total yang mendadak dari arteri koroner. Lamanya kerusakan miokardial bervariasi dan tergantung pada besarnya daerah yang diperfusi oleh arteri yang tersumbat. Gambaran dari infark miokard ini juga tergantung pada lokasi dan luasnya daerah sumbatan pada arteri koroner.
Dua jenis komplikasi penyakit IMA terpenting adalah komplikasi haemodinamik dan aritmia. Segera setelah terjadi IMA, daerah miokard setempat akan memperlihatkan penonjolan sistolik (diskinesia) dengan akibat penurunan ejection fraction, stroke volume dan peningkatan volume akhir sistolik dan akhir diastolik ventrikel kiri. Tekanan akhir diastolik ventrikel kiri naik akan diikuti oleh kenaikan tekanan akhir atrium, dan pada peningkatan tekanan atrium kiri diatas 25 mmHg yang lama kan menyebabkan transudasi cairan kejaringan interstisium paru (gagal jantung). Perburukan haemodinamik ini bukan saja disebabkan karena daerah yang mengalami infark, tetapi juga daerah yang mengalami iskhemik disekitarnya.
Miokard yang masih relatif baik akan mengadakan kompensasi, khususnya dengan bantuan rangsangan adrenergik, untuk mempertahankan curah jantung tetapi dengan akibat terjadi peningkatan kebutuhan oksigen miokard. Kompensasi ini jelas tidak memadai bila daerah yang bersangkutan juga mengalami iskhemia atau bahkan sudah terjadi fibrotik. Bila infark kecil dan miokard yang harus berkompensasi masih normal, maka perburukan haemodinamika akan minimal, sebaliknya bila infark yang terjadi luas dan miokard yang berkompensasi sudah buruk akibat iskhemia atau infark lama maka akan terjadi peningkatan tekanan akhir diastolik ventrikel kiri dan menyebabkan terjadinya gagal jantung. Sebagai akibat IMA sering terjadi perubahan bentuk serta ukuraan ventrikel kiri dan ketebalan ventrikel baik yang terkena infark maupun yang tidak. Perubahan tersebut menyebakan remodelliong ventrikel yang nantinya akan mempengaruhi fungsi ventrikel yaitu timbulnya aritmia.
Perubahan-perubahan hemodinamik IMA ini tidak statis. Bila IMA makin membaik, maka fungsi jantung akan membaik walaupun tidak diobati. Hal ini disebabkan karena daerah-daerah yang sebelumnya terjadi iskhemia mengalami perbaikan. Daerah-daerah tersebut akan mengalami akinetik, karena terbentuk jaringan parut yang kaku. Sebaliknya perburukan hemodinamik akan terjadi bila iskhemia berkepanjangan atau infark meluas, karena akan timbul penyulit mekanis seperti ruptur septum ventrikel, regurgitasi mitral akut dan anurisma ventrikel akan memperburuk faal hemodinamik jantung.
Aritmia merupakan penyulit IMA yang terjadi terutama pada saat-saat pertama setelah serangan. Hal ini disebabkan oleh adanya perubahan-perubahan masa refrakter, daya hantar rangsang dan kepekaan terhadap rangsangan. Sisten syaraf otonom juga berperan besar terhadap terjadinya aritmia karena pasien IMA umumnya mengalami peningkatan tonus parasimpatis dengan kecenderungan bradiaritmia meningkat, sedangkan peningkatan tonus simpatis pada IMA inferior akan mempertinggi kecenderungan terjadinya fibrilasi ventrikel dan perluasan infark.

IV. MANIFESTASI KLINIS
Banyak penelitian yang menunjukan pasien dengan infark miokard biasanya pria, diatas 40 tahun dan meengalami arterosklerosis pada pembuluh koronernya, sering disertai hipertensi arterial. Serangan juga terjadi pada wanita dan priaa muda diawal 30-an atau bahkan 20-an. Wanita yang memakai kontrasepsi pil dan kebiasaan merokok memepunyai resiko tinggi.
Keluhan yang khas adalah nyeri dada retrosternal, seperti diremas-remas, ditekan, ditusuk, panas atau ditindih barang berat. Nyeri dapat menjalar kelengan (umumnya kiri), bahu, leher, rahang bahkan kepunggung dan epigastrium. Nyeri berlangsung lebih lama dari angina pektoris biasa dan tak responsif terhadap nitrogliserin. Kadang-kadang, terutama pada pasien dengan diabetes dan orang tua tidak ditemukan nyeri sama sekali. Nyeri dapat disertai perasaan mual, muntah, sesak, pusing, keringat dingin, berdebar-debar, atau sinkope dan pasien sering tampak ketakutan.
Walau IMA dapat merupakan manifestasi pertama penyakit jantung koroner, namun bila anamnese dilakukan dengan teliti hal ini sering sebenarnya sudah didahului dengan keluhan-keluhan angina, perasaan tidak enak didada, atau epigastrium. Kelainan pada pemeriksaan jasmani tidak ada yang karakteristik dan dapat normal. Dapat ditemukan BJ 2 yang pecah paradoksal, irama gallop. Adanya krepitasi basal merupakan tanda bendungan pada paru-paru. Tachicardia, kulit yang pucat, dingin, dan hipotensi ditemukan pada kasus yang relatif lebih berat, kadang-kadang ditemukan pulsasi diskinetik yang nampak atau teraba didinding dada pada IMA interior.

V. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK
 Riwayat pasien; pengambilan riwayat pasien dilakukan dengan dua tahap :
1) Riwayat penyakit sekarang.
2) Riwayat penyakit dahulu, serta riwayat kesehatan keluarga, khususnya yang berhubungan dengan insiden penyakit jantung dalam keluarga.
 Elektrokardiogram (EKG), memberi informasi tentang elktrofisiologi jantung.
 Ekokardiogram, digunakan untuk evaluasi lebih jauh mengenai fungsi jantung, khususnya ventrikel.
 Enzim dan Isoenzim serum. Pemeriksaan rangkaian enzim meliputi kreatininkinase dan laktat dehidrogenase.

VI. PENATALAKSANAAN
Tujuannya adalah memperkecil kerusakan jantung sehingga mengurangi kemungkinan terjadinya komplikasi. Kerusakan jantung diperkecil dengan cara segera mengembalikan keseimbangan antara kebutuhan dan suplay oksigen jantung. Therapi obat-obatan, pemberian oksigen dan tirah baring dilakukan secara bersamaan untuk tetap mempertahankan fungsi jantung.
Ada tiga kelas obat-obatan yang biasa digunakan untuk meningkatkan supaly oksigen yaitu :
 Vasodilator
Vasodilator pilihan yang digunakan untuk mengurangi nyeri jantung adalah Nitrogliserin (NTG) intravena. NTG menyebabkan dilatasi arteri dan vena yang mengakibatkan pengumpulan darah diperifer, sehingga menurunkan jumlah darah yang kembali kejantung (pre load) dan mengurangi beban kerja (work load) jantung.

 Antikoagulan
Heparin adalah antikoagulan pilihan untuk membantu mempertahankan integritas jantung. Heparin memperpanjang waktu pembekuan darah sehingga dapat menurun kan kemungkinan pembentukan trombus dan selanjutnya menurunkan aliran darah.
 Tranbolitik
Tujuan pemberian obat ini adalah untuk melarutkan setiap trombus yang telah terbentuk diarteri koroner, memperkecil penyumbatan, dan juga luasnya infark.

VII. ASUHAN KEPERAWATAN
 Pengkajian
a. Sirkulasi
- Tekanan darah: dapat normal, naik-turun, perubahan postular dicatat dari tempat tidur/berdiri.
- Nadi: dapat normal penuh/tak kuat, lemah/kuat kualitasnya dengan pengisian kapiler lambat, tidak teratur (disritmia) mungkin terjadi.
- Bunyi jantung: Bunyi jantung ekstra S3/S4 mungkin menunjukan gagal jantung, penurunan kontraktilitas atau komplain ventrikel.
- Murmur: Bila ada menunjukan gagal katup atau disfungsi otot kapiler.
- Irama jantung : Dapat teratur/tidak
- Edema: Distensi vena jugular, edema dependen/perifer, krekels mungkin ada dengan gagal jantung/ventrikel.
- Warna: Pucat
b. Aktivitas
- Kelemahan: gelisah
- Tachikardia: dispose pada saat aktivitas/istirahat
c. Pernapasan
- Dispnea pada saat/tanpa kerja
- Riwayat merokok
- Peningkatan frekuensi pernapasan
- Pucat
- Bunyi napas: bersih atau krekel/mengi
- Sputum: bersih
d. Ketidaknyamanan
- Nyeri dada yang timbul mendadak (dapat/tidak berhubungan dengan aktivitas) tidak hilang dengan istirahat
- Lokasi: tipikal pada dada anterior, sub strenal prekorda dapat menyebar ketangan, leher, rahang. Tidak tentu lokasinya seperti epigastrium, siku, rahang, abdomen dan punggung.
- Kualitas: menyempit berat, menetap, tertakan.
- Intensitas biasanya 10 pada skala 1:10 mungkin pengalaman nyeri yang paling buruk yang pernah dialami.
- Wajah meringis, perubahan postur tubuh.
- Menangis, merintih.
- Menarik diri
- Respon otomatik: perubahan frekuensi/irama jantung, tekanan darah, pernapasan dan warna kulit.
e. Makanan/Cairan
- Mual/kehilangan napsu makan.
- Kulit kering dan berkeringat.
- Muntah.
- Penurunan berat badan.
f. Eliminasi
- Produksi urine berkurang
- Bunyi usus menurun
g. Neurosensori
- Pusing, berdenyut selama tidur atau pada saat bangun.
- Perubahan mental
- Kelemahan

 Diagnosa Keperawatan
(1) Nyeri dada berhubungan dengan Iskhemia jaringan jantung
(2) Gangguan intoleransi aktivitas berhubungan dengan ketidakseimbangan suplay oksigen.
(3) Kecemasan berhubungan dengan rasa takut akibat perubahan status kesehatan.
(4) Resiko tinggi menurunnya curah jantung berhubungan dengan kerusakan jaringan mikard.

 Analisa Data dan Intervensi
(1) Nyeri dada berhubungan dengan Iskhemia jaringan jantung, ditandai dengan:
DS : Keluhan nyeri pada dada.
DO : Wajah meringis
Gelisah
Perubahan nadi
Perubahan tekanan darah
Perubahan postur tubuh
Tujuan : Nyeri dada hilang dengan kriteria hasil :
- Klien tidak mengeluh nyeri
- Ekspresi wajah rileks
- Tidak gelisah
- Postur tubuh baik
- Nadi normal 60 kali/menit
- Tekanan darah normal 120/90 mmHg
Intervensi :
- Pantau karakteristik nyeri, laporan verbal, petunjuk non verbal dan respon hemodinamik (gelisah, berkeringat, napas cepat, tekanan darah, frekuensi jantung)
Rasional : Untuk membandingkan nyeri yang ada, riwayat verbal dan penyelidikan lebih dalam terhadap faktor pencetus harus ditindak agar nyeri hilang.
- Anjurkan klien untuk melaporkan saat nyeri dirasakan
Rasional : Penundaan pelaporan nyeri menghambat peredaran nyeri dan memerlukan peningkatan dosis.
- Beri lingkungan yang tenang/ataur posisi yang nyaman
Rasional : Menurunkan rangsangan eksternal dimana ansietas dan regangan jantung serta keterbatasan koping.
- Bantu klien untuk melakukan teknik relaksasi
Rasional : Membantu dalam menurunkan persepsi/respon nyeri, memberikan kontrol situasi, meningkatkan kemampuan koping.
- Berikan oksigen dengan kanule atau masker
Rasional : Meningkatkan jumalh oksigen yang ada untuk pemakaian miokardial, mengurangi ketidaknyamanan.
- Kolaborasi pemberian obat analgesik
Rasional : Menurunkan nyeri hebat, memberikan sedasi dan mengurangi kerja miokard.

(2) Gangguan intoleransi aktivitas berhubungan dengan ketidakseimbangan suplay oksigen dengan kriteria :
DS : Keluhan gangguan frekuensi jantung.
DO : Gangguan frekuensi jantung
Perubahan tekanan darah
Terjadinya disritmia
Nyeri dada
Perubahan warna kulit
Sesak
Lelah
Tujuan : Aktivitas terpenuhi dengan kriteria hasil :
- Peningkatan toleransi aktivitas
- Frekuensi jantung normal
- Tekanan darah normal
- Nyeri berkurang
- Kulit hangat, merah muda
- Frekuensi pernapasan normal
- Tidak lelah
Intervensi :
- Catat frekuensi jantung, irama dan perubahan tekanan darah sebelum, selama dan sesudah aktivitas.
Rasional : Kecenderungan menentukan respon pasien terhadap aktivitas dan dapat mengidentifikasikan penurunan oksigen miokardial yanmg memerlukan penurunan tingkat aktivitas.
- Tingkatkan istirahat / batasi aktivitas.
Rasional : Menurunkan kerja miokardial / konsumsi oksigen menurunkan resiko komplikasi.
- Anjurkan klien menghindarkan peningkatan tekanan abdomen.
Rasional : Aktivitas yang memerlukan menahan napas dan menunduk dapat mengakibatkan bradikardi dan juga menurunkan curah jantung dan tachikardia dan peningkatan tekanan darah.
- Jelaskan pola peningkatan bertahap dan tingkat aktivitasnya.
Rasional : Aktivitas yang maju memberikan kontrol jantung meningkatkan regangan dan mencegah aktivitas yang berlebihan.

(3) Kecemasan berhubungan dengan rasa takut akibat perubahan status kesehatan dengan kriteria :
DS : Klien bertanya tentang keadaannya.
DO : Ketakutan
Tegang
Gelisah
Prilaku menentang
Tujuan : Cemas hilang dengan kriteria hasil :
- Tidak takut
- Tidak gelisah
- Ekspresi wajah ceria
- Prilaku berkerja sama

Intervensi :
- Identifikasi dan ketahui persepsi pasien terhadap ancaman / situasi.
Rasional : Koping terhadap nyeri dan trauma emosi sulit pasien dapat takut mati atau/cemas akan berkelanjutan.
- Catat adanya kegelisahan, menolak/menyangkal.
Rasional : Peningkatan terhadap frekuensi hidup antara individu dan dampak penolakan telah berarti dua.
- Mempertahankan rasa percaya.
Rasional : Pasien dan orang terdekat dapat dipengaruhi oleh cemas/ketidaktenangan anggota tim kesehatan.
- Kaji tanda verbal dan normal pernapasan.
Rasional : Pasien mungkin tidak menimbulkan masalah secara langsung tetapi kata-kata, tindakan dapat menunjukan rasa agitasi, marah dan gelisah. Intervensi dapat membantu pasien meningkatkan kontrol terhadap prilakunya sendiri.
- Orientasikan pasien pada orang terdekat terhadap prosedur rutin dan aktivitas yang diterapkan.
Rasional : Perkiraan dan informasi dapat menurunkan kecemasan pasien.
- Dorong pasien/orang terdekat untuk mengkomunikasikan dengan seseorang berbagai pertanyaan dan masalah.
Rasional : Berbagai informasi membentuk dukungan dan kenyamanan dan dapat menghilangkan tegangan terhadap kekuatiran yang tidak diekspresikan.

(4) Resiko tinggi menurunnya curah jantung berhubungan dengan kerusakan jaringan miokard dengan kriteria :
DS : -
DO : Perubahan frekuensi, irama dan konduksi jantung
Peningkatan tahanan vasculer sistemik (TVS)
Disritmia
Perubahan tekanan darah
Produksi urine menurun
Dispnea
Tujuan : curah jantung baik dengan kriteria hasil :
- Frekuensi/irama jantung normal
- TVS normal
- Disritmia hilang
- Produksi urine normal
- Tidak dispnea
Intervensi :
- Auskultasi tekanan darah.
Rasional : Hipotensi dapat terjadi sampai dengan disfungsi ventrikel, hipoperfusi miokardial dan rangsangan vegal. Hipertensi juga merupakan fenomena umum kemungkinan berhubungan dengan nyeri, cemas, pengeluaran katekolamin atau masalah vascular sebelumnya, hipotensi artostatik mungkin berhubungan dengan komplikasi infark miokard.
- Evaluasi kualitas, kesamaan nadi.
Rasional : Penurunan curah jantung mengakibatkan menurunnya kelemahan.kekuatan nadi.
- Catat terjadinya S3 dan S4.
Rasional : S3 biasanya dihubungkan dengan BJ koroner tetapi yang terlihat pada gagal jantung dan kelebihan kerja ventrikel kiri yang disertai infark berat. S4 mungkin berhubungan dengan iskhemia miokard kekakuan ventrikel, hipertensi pulmonal sistemik.
- Pantau adanya murmur.
Rasional : Menunjukan gangguan aliran darah normal dalam jantung, katup tak baik, kerusakan septum dan fibrasi otot kapiler/ korda mandinea, adanya gesekan dengan infakr juga berhubungan dengan inflamasi.
- Auskultasi bunyi napas.
Rasional : Krekels menunjukan kongesti paru yang mungkin terjadi karena penurunan fungsi miokard.
- Pantau frekuensi jantung, irama, disritmia.
Rasional : Frekuensi dan irama jantung berespon terhadap obat dan aktivitas sesuai dengan terjadinya komplikasi/disritmia (khususnya kontraksi ventrikel prematur atau blok jantung berlanjut) yang mempengaruhi fungsi jantung.
- Catat respon terhadap dan peningkatan istirahat dengan cepat.
Rasional : Kelelahan latihan meningkatkan konsumsi/kebutuhan oksigen daan mempengaruhi fungsi miokard.
- Berikan pispot disamping tempat tidur bila tidak mampu kekamar kecil.
Rasional : Mengupayakan penggunaan bedpan dapat melahkan dan secara psikologis penuh stres, juga meningkatkan oksigen dan kerja jantung.
- Berikan makanan kecil/mudah dikunyah.
Rasional : Makanan dalam jumlah besar dapat meningkatkan kerja miokardium dan menyebabkan rangsangan yang mengakibatkan bradikardia/denyut ektopik. Cafein adalah perangsang langsung pada jantung yang dapat meningkatkan frekuensi jantung.
- Berikan oksigen.
Rasional : Meningkatkan jumlah sediaan oksigen untuk kebutuhan miokard, menurunkan iskhemia dan disritmia lanjut.
- Kaji ulang EKG
Rasional : memberikan informasi sehubungan dengan kemajuan/perbaikan infark status fungsi ventrikel, keseimbangan elektrolit dan efek terapi obat.













PENUTUP

A. Kesimpulan
Berdasarkan uraian tersebut diatas maka dapat disimpulkan beberapa hal yaitu sebagai berikut :
 Infark Miokard Akut (IMA) mengacu pada proses rusaknya jaringan jantung akibat suplay oksigen yang tidak adekuat sehingga aliran darah koroner berkurang. Penurunan suplay oksigen kejantung ini dapat disebabkan karena penyempitan arteri koroner oleh embolus atau karena arterosklerosis.
 Gambaran klinis dari IMA bergantung pada lokasi atau tempat terjadinya sumbatan. Sumbatan pada arteri koroner kanan dapat menyebabkan infark dinding inferior atau posterior, sedangkan sumbatan pada aarteri koroner kiri dapat menyebabkan infark dinding lateral dan anterior.
 Hal-hal yang perlu dikaji pada infark miokard adalah keadaan sirkulasi, aktivitas, pernapasan, ketidaknyamanan, makanan/cairan, neurosensori dan eliminasi.
 Masalah keperawatan yang dapat timbul pada IMA adalah Nyeri, gangguan intoleransi aktivitas, kecemasan dan resiko tinggi menurunnya curah jantung.

B. Saran
Semoga makalah ini memberikan wawasan kepada kita tentang infark miokard sebagai salah satu kasus kegawat daruratan, dan kepada ibu dosen pembimbing mata kuliah ini kiranya dapat memberikan masukan, kritik dan saran guna melengkapi pengetahuan tentang infark miokard akut terutama yang berkaitan dengan kasus kegawat daruratan kardiovasculer dan langkah-langkah yang perlu ditempuh dalam menghadapi masalah kegawat daruratan ini.





DAFTAR PUSTAKA


1. Persatuan Ahli Penyakit Dalam Indonesia, Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, Balai Penerbit FKUI, 1996, Jakarta.
2. Silvia & Wilson, Pathofisiologi (Konsep Klinis Proses-proses Penyakit), EGC, 1995, Jakarta.
3. Brunner & Suddarth, Keperawatan Medikal Bedah, EGC, 2002, Jakarta.
4. Staf Pengajar Patologi Anatomi, Patologi, Bagian Patologi Anatomi FKUI, Jakarta.